Analisis Ekonomi KOMPAS, Senin, 12 September 2011 | 05:04 AM
BUSTANUL ARIFIN
Laju inflasi Indonesia yang mencapai 0,93 persen pada Agustus 2011 dan 2,69 persen selama tahun kalender mengandung sekian macam interpretasi dan implikasi.
Pemerintah dan Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi tahunan berada pada kisaran 5 persen plus-minus 1 persen. Pada bulan Agustus, laju inflasi masih dominan ditentukan oleh kenaikan harga pangan, sebagai dampak peningkatan konsumsi selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Kenaikan harga emas secara signifikan juga ikut membentuk karakter laju inflasi Indonesia, di samping kenaikan biaya transportasi, biaya pendidikan, harga sandang, dan lain-lain. Kontribusi kenaikan harga pangan (plus makanan jadi dan minuman) pada inflasi Agustus telah mencapai 35 persen.
Kontribusi kenaikan harga pangan ini masih lebih rendah dibandingkan dengan pangsa harga pangan pada tahun 2010 yang mencapai 50,3 persen dan tahun 2006 yang mencapai 42,7 persen. Instabilitas harga pangan pada 2010 juga memengaruhi laju inflasi tahunan karena musim basah yang terlalu panjang dan memengaruhi pola distribusi bahan pangan. Pada 2006, tingginya kontribusi kenaikan harga pangan karena dampak berantai dari kenaikan harga eceran bahan bakar minyak pada 2005. Bahkan, kebijakan yang dimaksudkan untuk menghemat anggaran negara itu telah melonjakkan angka kemiskinan dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 18,3 persen pada tahun 2005. Kaum awam pun paham bahwa laju inflasi yang tinggi hampir selalu identik dengan daya beli masyarakat yang rendah dan permintaan agregat yang kecil sehingga aktivitas ekonomi juga melemah.
Fakta teoretis dan empiris ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa pengendalian laju inflasi dari sisi penawaran sangat berhubungan dengan sistem produksi pangan, yang ternyata masih rentan terhadap perubahan iklim. Maksudnya, gangguan produksi pangan di tingkat usaha tani, kapasitas manajemen stok logistik pangan pokok, dan sistem distribusi atau perdagangan komoditas pangan menjadi determinan krusial pada laju inflasi. Pengendalian laju inflasi pada sisi penawaran ini terkadang menjadi rumit dan politis karena kejutan-kejutan yang disebabkan kenaikan kelompok harga yang diatur (administered prices), seperti harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Singkatnya, sistem produksi pangan, manajemen logistik, distribusi/perdagangan pangan masih tetap relevan dalam pengendalian laju inflasi di Indonesia.
Produksi beras yang membaik pada tahun 2008 dan 2009, plus tekad dan keputusan kebijakan untuk tidak melakukan impor beras ketika harga pangan global melonjak liar, ternyata mampu mengurangi kontribusi kenaikan harga pangan terhadap laju inflasi. Laju inflasi pada 2008 mencapai 11,1 persen dan pangsa harga pangan tercatat ”hanya” 31,6 persen.
Kinerja pengadaan beras oleh Bulog pada waktu itu cukup baik, mencapai lebih dari 2 juta ton, sehingga mengurangi ruang gerak para pedagang beras untuk berspekulasi yang dapat memperburuk keadaan. Ketika laju inflasi tahunan pada 2009 menurun sampai 2,8 persen karena krisis global sudah mereda, kontribusi kenaikan harga pangan pun ikut menurun sampai pada angka 29,5 persen.
Tahun ini kinerja produksi pangan, pengadaan beras, dan manajemen logistik tidak terlalu baik, bahkan diwarnai sekian episode yang dramatis. Diawali dari target produksi gabah 70 juta ton tahun ini dan surplus beras 10 juta ton pada 2014, kinerja produksi beras dilaporkan surplus, tetapi sulit ditelusuri keberadaannya di lapangan. Kinerja pengadaan beras yang tidak terlalu baik telah menimbulkan saling-silang secara terbuka antara Kementerian Pertanian dan Perum Bulog. Terakhir adalah impor beras yang mencapai 2 juta ton.
Mengandalkan tiang penyangga ketahanan pangan nasional pada beras impor tentu sulit diterima karena pasar internasional beras sulit untuk dapat dipercaya. Volume perdagangan beras yang amat tipis dan negara eksportir beras di dunia yang hanya bertumpu pada beberapa negara, seperti Thailand, Vietnam, India, Pakistan, dan Amerika Serikat, jelas berpotensi memicu instabilitas harga. Karakter spesifik pasar beras seperti inilah yang sering dilupakan oleh mereka yang terlalu terobsesi dengan liberalisasi pasar komoditas pangan dan pertanian. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejutan perdagangan (trade shock) masih akan terus mewarnai perdagangan beras di tingkat global. Persoalannya bukan sekadar urusan titik keseimbangan penawaran dan permintaan saja, melainkan jauh lebih kompleks lagi, karena telah masuk ke ranah politik, diplomasi, dan lain-lain.
Laporan terakhir Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) per Agustus 2011 menyebutkan bahwa volume perdagangan beras tahun 2011/2012 akan menurun 3 persen, menjadi 31,9 juta ton. Thailand kemungkinan mengurangi ekspor beras sampai 20 persen (dari 10 juta ton menjadi 8 juta ton) karena sedang terjadi perubahan politik yang mengedepankan kebutuhan beras di dalam negerinya. Ekspor beras Vietnam juga akan menurun menjadi 6,2 juta ton karena pertimbangan kepentingan nasional.
Sebagai penutup, pemerintah bertanggung jawab mengendalikan laju inflasi dari sisi penawaran karena kenaikan harga pangan masih akan menjadi kontributor penting laju inflasi. Bank Indonesia bertanggung jawab mengendalikan laju inflasi dari sisi permintaan melalui instrumen moneter, seperti pengaturan suku bunga dan nilai tukar. Bank Indonesia mengawasi sektor perbankan yang biasanya lambat merespons sinyal kebijakan moneter, terutama dalam hal penyaluran kredit kepada aktivitas perekonomian yang berisiko cukup besar.
Di sinilah pentingnya untuk memperbaiki keterhubungan atau integrasi langkah-langkah di sektor moneter dengan target peningkatan produksi pangan, manajemen stok, dan perbaikan distribusi komoditas pangan di lapangan. Tim Pengendali Inflasi yang dibentuk Bank Indonesia dan Kantor Menko Perekonomian perlu disempurnakan mekanisme kerjanya dan ditingkatkan efektivitasnya sebagai representasi dari keterhubungan di atas.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Senior Indef, Jakarta
Leave a comment