Feeds:
Posts
Comments

Archive for April, 2016

Sengketa Impor Produk Hortikultura, Hewan, dan Produk Hewan

BUSTANUL ARIFIN

Kompas, Selasa, 26 April 2016

Sengketa perdagangan internasional produk hortikultura, hewan, dan produk hewan yang melibatkan Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat di tingkat Organisasi Perdagangan Dunia, kini memasuki masa-masa kritis. Kebijakan impor hortikultura, impor ternak, dan produk ternak yang diterapkan Indonesia dianggap restriksi kuantitatif dan diskriminatif karena membatasi ruang gerak pelaku usaha Selandia Baru dan AS. Indonesia telah berusaha membela legitimasi kebijakan impornya dengan berbagai argumen dari perspektif legal, ekonomi, sosial, moral, dan sedikit politik.

Adu argumen bukti empiris dan klaim obyektif secara tatap muka yang melibatkan ketiga pihak telah dianggap selesai.  Semua menunggu hasil telaah seluruh anggota tim Panel Sengketa (hakim), atas jawaban lisan dan tertulis yang diberikan oleh semua pihak yang bersengketa.  Namun, tak tertutup kemungkinan Panel masih akan menyampaikan pertanyaan tambahan kepada tergugat atau respondent (Indonesia) atau bahkan kepada penggugat atau complainants (Selandia Baru dan AS). Lalu, pihak tergugat dan penggugat masih diberi kesempatan menyampaikan jawabannya secara tertulis dalam waktu yang ditentukan. Sekitar Juli 2016, dunia akan dapat mengetahui hasil keputusan panel, terkait siapa yang menang dan siapa yang kalah dari sengketa impor ini.

Asal mula perkara ini adalah ketika pada akhir 2012, Selandia Baru dan AS mengajukan notifikasi dan keberatan (baca: protes keras) kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan impor produk hortikultura, impor hewan, dan produk hewan yang diterapkan Indonesia. Kedua negara maju itu menyampaikan bahwa kebijakan impor Indonesai dinilai kompleks dan berdampak buruk bagi kegiatan ekspor produk hortikultura dan daging, terutama dari Selandia Baru dan AS.

Proses konsultasi awal dan konsultasi lanjutan telah dilakukan sepanjang 2013 dan 2014. Pernah ada secercah harapan terjadi titik temu kepentingan Indonesia dengan Selandia Baru dan AS setelah Indonesia merevisi ketentuan rekomendasi impornya. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) telah diubah jadi Permentan No 47/2013 (19 April 2013) dan didukung revisi Permendag No 60/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH) menjadi Permendag No 16/2013 (22 April 2013). Prosedur perizinan impor banyak disederhanakan dan aplikasi izin impor mulai menggunakan sistem daring.

Rupanya Selandia Baru dan AS masih belum puas terhadap ketentuan baru impor Indonesia, walaupun proses konsultasi formal dan informal telah diupayakan.  Ketentuan memperoleh RIPH kembali direvisi melalui Permentan No 86/2013 (30 Agustus 2013) dan KIPH disempurnakan dengan Permendag No 57/2013 (26 September 2013). Perubahan yang amat signifikan adalah rekomendasi impor diberikan kepada perusahaan importir tak harus berdasarkan basis komoditas.

Perjuangan berat

Tidak puas dengan proses konsultasi atau diplomasi perdagangan bilateral, akhirnya pihak Selandia Baru dan AS secara resmi membawa persoalan ini ke tingkat Panel DSB. Mau tidak mau Indonesia wajib menghadapinya di tingkat Majelis Sidang Sengketa di WTO ini.  Majelis Panel (hakim) yang menyidangan sengketa impor ini telah ditentukan WTO, berdasarkan negosiasi dan masukan dari ketiga pihak yang bersengketa, didampingi penasihat hukum masing-masing.

Sidang pertama telah dilakukan pada 1-2 Februari 2016, dan sidang kedua baru selesai pada 13-14 April 2016. Di hadapan Majelis Panel, komplain Selandia Baru dan AS nyaris tidak berubah: Indonesia dianggap menerapkan rezim perizinan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, hingga menimbulkan pembatasan dan pelarangan produk impor. Indonesia dinilai tidak dapat menunjukkan alasan kuat tentang pemberlakuan rezim perizinan impor untuk melindungi moral warga negara, kesehatan (manusia, hewan, dan tumbuhan).

Selandia Baru dan AS menganggap prosedur perizinan impor hortikultura, hewan, dan produk hewan bersifat restriktif dan berdampak pada perdagangan internasional, dan tidak konsisten dengan ketentuan WTO, khususnya Article III dan Article XI:1 GATT 1994, Article 4.2 Agreement on Agriculture, dan Agreement on Import Licensing Procedures.

Selain pihak penggugat (Selandia Baru dan AS), perkara sengketa DS477 dan DS478 juga melibatkan 14 negara pihak ketiga, yang ikut nebeng karena memiliki kepentingan terhadap kasus impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Ke-14 pihak itu adalah: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, RRT, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Norwegia, Taiwan, Paraguay, India, Singapura, dan Thailand.

Betapa berat perjuangan Indonesia, sebagai negara berkembang yang masih tertatih-tatih dalam melaksanakan pembangunan pertanian, ketahanan pangan, dan keamanan pangan, tetapi juga dituntut harus melayani kepentingan negara maju. Ketentuan impor, seperti pengaturan masa atau periode impor yang diterapkan Indonesia sebenarnya tidak menurunkan volume impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Selandia Baru dan AS, jadi sama sekali bukan kategori restriksi impor.  Bahkan sebaliknya, impor produk pertanian strategis Indonesia mengalami kenaikan signifikan.

Bahkan, Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, seperangkat paket kebijakan ekonomi baru telah dikeluarkan untuk menyederhanakan impor produk pangan strategis. Misalnya, Permendag No 71/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Holtikultura dan Permendag No 5/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Pemerintah bahkan mengklaim tak pernah menolak mengeluarkan RIPH dan Rekomendasi Impor Hewan dan Produk Hewan sepanjang persyaratannya terpenuhi. Apabila terdapat kasus rekomendasi impor produk hortikultura, hewan atau produk hewan belum diberikan, hal tersebut karena importir tak melengkapi persyaratan yang ditentukan.

Beberapa pelajaran

Sebagai penutup, kasus sengketa impor ini telah memberikan beberapa pelajaran. Pertama, sebagai anggota, Indonesia tetap perlu memenuhi ketentuan WTO, tanpa harus kehilangan kedaulatannya sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Walaupun proses penyelesaian sengketa di tingkat Panel DSB WTO dianggap efektif, tetapi akan lebih baik jika sengketa perdagangan sedapat mungkin tidak diselesaikan di tingkat perkara. Proses konsultasi atau perundingan perdagangan bilateral perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan sengketa perdagangan. Beperkara di tingkat Panel DSB sebagai alternatif terakhir saja karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu, dan energi yang besar.

Kedua, harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan perdagangan yang melibatkan sekian kementerian teknis amat penting dan perlu menjadi agenda prioritas nasional. Kebijakan perdagangan internasional membawa dampak bagi sendi-sendi kehidupan sosial-ekonomi-politik dan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, Indonesia perlu lebih dewasa dan obyektif dalam menghadapi dua kasus sengketa baru di DSB WTO yang sejenis, menyusul gugatan Brasil yang menganggap Indonesia mempersulit impor daging ayam dari Brasil (DS484) dan mempersulit impor daging yang mengandung hormon bovinepertumbuhan (DS506).  Indonesia perlu memiliki tim perundingan perdagangan  internasional yang kuat dan berwibawa, yang mampu menangani aspek teknis, ekonomis, dan legal serta mampu berkontribusi pada pembangunan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

BUSTANUL ARIFIN

GURU BESAR UNILA, EKONOM INDEF, PROFESSORIAL FELLOW DI SB-IPB

 

Read Full Post »

Praktik Kartel Industri Perunggasan

Bustanul Arifin

Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)

Media Indonesia, Sabtu, 16 April 2016

INDUSTRI perunggasan sedang menghadapi cobaan tidak ringan, yaitu diduga melakukan praktik kartel dan pelanggaran lain terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat. Industri perunggasan berkembang amat pesat sejak dekade 1980an, menjadi penghidupan lebih dari 10 juta rumah tangga peternak dan berkontribusi pada pangsa sekitar 2% sektor peternakan terhadap perekonomian nasional atau produk domestik bruto (PDB). Sekadar perbandingan, sektor pertanian secara keseluruhan pada 2015 tercatat 14,6% dan menyerap tenaga kerja 32,7% atau hampir 38 juta tenaga kerja. Produksi daging ayam nasional mencapai lebih dari 2,4 juta ton, jumlah populasi unggas mencapai 2,6 miliar ekor, dan produksi telur juga telah melampaui 2,2 juta ton. Masyarakat berpenghasilan rendah sekali pun kini mulai memperoleh akses pangan lebih mudah, khususnya dalam pemenuhan protein yang berasal dari daging ayam dan telur.

Revolusi peternakan
Industri perunggasan seakan berkembang sendiri, dengan sedikit sekali intervensi dari pemerintah, mengikuti fenomena revolusi peternakan (livestock revolution) yang lebih banyak didorong peningkatan pendapatan konsumen. Berbeda dengan industri beras, industri perunggasan dibangun dengan prinsip-prinsip agrobisnis modern, dengan fokus peningkatan daya saing dan efisiensi produksi, memanfaatkan teknologi pemuliaan ternak (breeding) dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan peluang bisnis yang terbuka amat lebar, industri perunggasan berkembang lebih pesat lagi sejak 1990-an. Meski sempat terpuruk pada saat krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an karena kandungan pakan impor yang terlalu besar, industri peternakan secara perlahan mulai pulih pada awal 2000-an. Produk unggas berupa daging ayam dan telur telah mulai masuk pasar ekspor di kawasan ASEAN. Di tengah ekspektasi yang mulai membaik, terjadi wabah flu burung atau avian influenza pada 2003-2004 yang membawa kerugian ekonomi tidak sedikit. Problema penanganan biosecurity, kebersihan kandang yang jauh dari memadai, perdagangan unggas hidup yang terbuka, dan interaksi unggas dengan manusia yang amat intensif dan lain-lain, akhirnya menuntut peran pemerintah yang lebih besar. Dengan memperoleh bantuan teknis dari Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), lembaga riset peternakan internasional (ILRI), Pemerintah Indonesia kemudian menerapkan sistem surveillance, yaitu pengamatan unggas harian dan peningkatan kapasitas bagi petugas peternakan di seluruh Indonesia.

Investasi besar dari modal asing dan modernisasi industri perunggasan terus berlangsung karena peluang dan keuntungan ekonomi yang demikian menggiurkan. Para analis kemudian membagi empat lapis industri peternakan sesuai dengan skala usaha dan tingkat integrasi dari hulu ke hilir, yaitu lapisan satu, terdiri atas perusahaan yang bergerak di bidang pembibitan biang bibit atau grand parent stock (GPS), bibit ayam atau parent stock (PS), industri pakan, dan produksi daging ayam serta telur ayam. Lapisan dua, terdiri atas perusahaan bibit ayam (DOC=day old chick) yang juga memproduksi daging ayam dan telur ayam. Lapisan tiga terdiri atas peternak skala menengah dan kecil, yang harus bermitra dengan lapisan satu dan dua, jika ingin mempertahankan eksistensi usaha. Terakhir, lapisan empat terdiri atas peternak skala rumah tangga, yang tidak telah berorientasi komersial, tetapi umumnya terkendala permodalan dan pembiayaan usaha peternakan lainnya. Dengan empat lapis pelaku industri itu, struktur industri peternakan memang timpang. Tidak mengherankan penguasaan aset, omzet pasar, dan pangsa pasar masih terpusat pada beberapa pelaku industri kelas besar. Integrasi pasar vertikal dan horizontal demikian tinggi sehingga mereka sering mendapat disebut integrator. Produsen biang benih ayam atau great GPS (GGPS) hanya satu perusahaan. Industri benih ayam GPS tidak lebih dari 15 perusahaan, dengan dua perusahaan menguasai pangsa pasar 70%. Industri pembiakan bibit ayam terdiri atas 100 perusahaan, dengan lima perusahaan menguasai pangsa pasar 80% dan sisanya terbagi di antara 95 perusahaan kecil dan menengah lainnya (Arifin, 2016). Rencana pemerintah sejak era sebelumnya untuk melakukan restrukturisasi industri dalam memperbaiki kualitas kemitraan antara pelaku peternak rakyat skala kecil, menengah, dan besar, bahkan untuk meningkatkan daya saing industri, menciptakan rasa keadilan yang seakan berjalan di tempat.

Dugaan kartel
Setelah melakukan investigasi yang komprehensif, pada awal tahun ini KPPU akhirnya mengumumkan 12 perusahaan dalam industri perunggasan terindikasi melakukan pelanggaran hukum atas UU No 5/1999. Mereka ialah PT Charoen Pokphand Jaya Farm, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Satwa Borneo, PT Wonokoyo Jaya Corp, PT CJ-PIA (Cheil Jedang Superfreed), PT Malindo, PT Taat Indah bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, CV Missouri, PT Ekspravet Nasuba, PT Reza Perkasa, dan PT Hybro Indonesia. Dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha kepada mereka cukup berlapis dan agak berat, yaitu (1) dugaan perjanjian eksklusif (tying agreement) dalam pembelian DOC dan pakan ternak, (2) dugaan kartel dalam penetapan harga ayam potong (live bird), (3) dugaan jual rugi (predatory pricing) dalam penjualan DOC dan ayam potong, (4) dugaan diskriminasi harga dalam penjualan DOC antara peternak mandiri dengan peternak mitra dan peternak terafiliasi, dan (5) dugaan penyalahgunaan posisi tawar dalam hubungan perusahaan inti dan perusahaan mitra.

Pada Maret, proses penegakan hukum itu sudah memasuki fase-fase persidangan, pemeriksaan terduga, dan para saksi, termasuk pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian. Upaya pemerintah untuk mengurangi kelebihan pasokan bibit ayam melalui program afkir dini yang telah mencapai 2 juta ekor dianggap melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Walaupun pemerintah telah membantahnya, KPPU tetap pada pendirian mereka, maju terus sampai ke meja persidangan. Sangat besar kemungkinan bahwa proses persidangan akan berlanjut di Pengadilan Negeri, yang memerlukan waktu lama dan energi yang tidak sedikit. Sambil menunggu hasil persidangan atau proses penegakan hukum oleh KPPU terhadap dugaan praktik kartel, berikut ini ditawarkan beberapa opsi solusi nonlegal yang perlu diambil. Pertama, pemerintah segera melakukan audit menyeluruh terhadap pelaksanaan kebijakan impor GGPS dan GPS yang diberikan kepada industri unggas skala besar yang seharusnya mampu menghasilkan data objektif tentang keseimbangan pasokan bibit ayam dan tingkat serapan peternak skala kecil dan industri terintegrasi.

Kedua, pemerintah perlu melanjutkan fasilitas dialog antarpelaku, setidaknya pada lapisan satu, dua, dan tiga, sekaligus menemukan solusi yang lebih komprehensif. Khusus untuk pelaku pada lapisan satu dan dua, pemerintah perlu menawarkan solusi kalah-kalah dan kebesaran hati untuk berkorban demi terciptanya industri perunggasan yang tangguh di masa depan. Ketiga, pemerintah perlu lebih serius melanjutkan upaya restrukturisasi industri perunggasan, mengaitkannya dengan road map industri pangan dan industri agro secara umum yang lebih bervisi peningkatan daya saing industri dalam kancah regional dan dalam memenuhi akses pangan berkualitas serta ketahanan pangan bangsa secara keseluruhan. Keempat, pemerintah perlu tegas mengupayakan langkah konsolidasi usaha peternak skala kecil dan menengah, melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, sekaligus memberikan bimbingan memadai dan bantuan teknis yang diperlukan, serta dukungan akses pembiayaan yang mudah.

http://www.mediaindonesia.com/news/read/40589/praktik-kartel-industri-perunggasan/2016-04-16#sthash.sl1Fys3f.dpuf

 

Read Full Post »

Antisipasi Musim Panen dan Kemarau Basah

Bustanul Arifin

Guru Besar UNILA, Ekonom Senior Indef, Ketua Forum Masyarakat Statistik (FMS)

Media Indonesia, Senin, 21 Maret 2016

MUSIM panen padi pada 2016 ini diperkirakan bersamaan dengan fenomena kemarau basah, mirip kejadian pada 2010-2011. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan pada April-Mei 2016 akan terjadi La Nina, suatu kondisi hujan berlebih, yang umumnya mengikuti musim kering esktrem El Nino. Sebuah lembaga kredibel International Research Institute for Climate and Society (IRI), yang berafiliasi dengan Columbia University (Amerika Serikat), juga memprakirakan terjadinya iklim basah (La Nina) masih tinggi pada Agustus-Oktober 2016.

Secara teknis, pertemuan suhu muka laut yang sangat dingin di Samudra Pasifik (Daerah Nino 3,4) dan suhu perairan Indonesia yang hangat akan menimbulkan curah hujan dengan intensitas tinggi di Indonesia.  Saat terjadi La Nina, angin pasat timur yang bertiup di sepanjang Samudra Pasifik membuat massa air hangat yang terbawa semakin banyak ke arah Pasifik Barat. Akibatnya, massa air dingin di Pasifik Timur bergerak ke atas dan menggantikan massa air hangat yang berpindah itu. Pada 2011, La Nina berdampak menurunkan produksi padi 1,1%, yang telah diakui secara objektif oleh pemerintah.

Artikel ini menganalisis fenomena kemarau basah itu sebagai suatu fakta perubahan iklim yang mewarnai ekonomi beras pada 2016. Artikel ini menawarkan strategi antisipasi yang perlu dilakukan pemerintah dan pengampu kepentingan pertanian lainnya.

Harga gabah belum jatuh

Pada akhir Maret atau April 2016, musim panen padi diperkirakan akan berlangsung terutama di hampir semua sentra produksi di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan sebagian di Flores, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 60%-65% padi Indonesia dipanen pada musim rendeng, yang kebetulan mengalami musim tanam mundur 3-4 minggu, sebagai dampak dari musim kering ekstrem El Nino yang terjadi pada 2015.

Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS) masih melakukan prognosis produksi dengan memperhitungkan sekian macam asumsi, prediksi, laporan dari lapangan, dan pengukuran dari sampel ubinan. Dengan pertimbangan strategis, psikologi pasar dan lain-lain, angka ramalan produksi pangan akan diumumkan pada 1 Juli 2016. Salah satu indikator yang dijadikan acuan tentang keseimbangan suplai, cadangan, dan permintaan beras ialah pergerakan harga gabah dan harga beras.

Pergerakan harga di tingkat lapangan itu dapat dijadikan acuan bagi Perum Bulog untuk melakukan pengadaan beras, pengelolaan cadangan, dan tugas besar yang baru, yaitu stabilisasi harga tingkat produsen dan tingkat konsumen untuk beras, jagung, dan kedelai. Harga beras relatif mudah diprediksi karena pemerintah memberikan perhatian yang memadai, termasuk jargon pajale (padi, jagung, dan kedelai) yang telah mulai akrab di tengah masyarakat.

Harga jagung terkadang bertingkah laku agak aneh, apalagi kredibilitas data produksi sering diragukan oleh lembaga internasional. Kenaikan harga jagung yang terjadi pada awal tahun di tengah super siklus penurunan harga jagung dunia juga berhubungan dengan kebijakan perdagangan jagung dalam negeri. Harga kedelai juga relatif mudah dimengerti karena Indonesia amat tergantung pada pasokan kedelai impor, terutama dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, dan lain-lain.

Laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sepanjang Februari 2016, harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di tingkat petani masih tinggi, Rp 5.211 per kilogram, dan harga gabah kering giling (GKG) juga tinggi, yaitu Rp 5.753 per kilogram. Dari 625 observasi yang dilakukan, dapat ditelusuri bahwa harga gabah petani GKP terendah tercatat di Jawa Tengah (Rp 3.800) dan tertinggi di Kalimantan Tengah (Rp 9.000). Dari 153 observasi, harga GKG terendah tercatat di Sumatra Utara (Rp 4.500) dan tertinggi di Kalimantan Selatan (Rp 8.878).

Harga rata-rata gabah kualitas rendah atau yang tidak memenuhi syarat teknis untuk diolah dan disimpan juga masih tinggi, yaitu Rp 4.223 per kilogram. Dari 167 observasi, harga gabah kualitas rendah tercatat paling rendah di Jawa Timur (Rp 3.200) dan paling tinggi di Banten (Rp 6.300). Situs resmi Kementerian Pertanian juga menampilkan harga rata-rata GKP per 19 Maret 2016 yang tinggi, yaitu Rp 4.512 per kilogram dan GKG yang tinggi Rp 5.195 per kilogram. Angka tersebut memang menunjukkan penurunan ketimbang harga GKP pada 7 Maret 2016 yang tercatat Rp 4.578 dan GKG sebesar Rp 5.313 per kilogram. Harga gabah masih jauh di atas harga referensi atau harga pembelian pemerintah (HPP) GKP Rp 3.700 per kilogram di petani dan GKG Rp 4.600 per kilogram di penggilingan, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Tidak mengherankan jika banyak analis yang mempertanyakan validitas dan efektivitas HPP untuk melindungi petani atau membantu mengurangi risiko usaha tani, karena HPP tersebut berada di bawah harga keseimbangan pasar. Secara teori, harga referensi HPP berbeda dengan harga dasar gabah (HDG)–kini tidak diadopsi lagi–yang selalu ditetapkan di atas harga keseimbangan pasar. HPP lebih banyak hanya dimaksudkan sebagai referensi bagi kegiatan pengadaan gabah oleh Perum Bulog. Benar bahwa sampai akhir minggu lalu, harga gabah ada yang berada di bawah HPP, seperti di Sumbawa (Rp 3.400), Brebes, Tuban, dan Bima (Rp 3.600).

Rendahnya harga gabah sampai di bawah HPP berhubungan dengan kualitas gabah yang tidak memenuhi persyaratan teknis, umumnya terlalu basah, sehingga jika dipaksakan digiling, gabah akan patah dan bahkan hancur. Kementerian Pertanian juga melaporkan harga rata-rata beras medium per 19 Maret 2016 sebesar Rp 9.063 per kilogram dan beras premium Rp 10.253 per kilogram, berdasarkan laporan dari 43 kabupaten/kota.

Harga tersebut sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sehari sebelumnya atau pada 18 Maret 2016, yaitu Rp 8.992 per kilogram untuk beras medium dan Rp 10.157 per kilogram untuk beras premium, yang berasal dari 93 kabupaten/ kota. Laporan harga beras dari Kementerian Pertanian tercatat lebih rendah ketimbang laporan harga beras dari Kementerian Perdagangan, yang mencatat bahwa harga rata-rata sebesar Rp 10.920 per kilogram pada 18 Maret 2016.

Dari kedua sumber data resmi tersebut, harga beras di Indonesia masih lebih tinggi ketimbang harga beras rata-rata di Thailand, Vietnam, dan India, sebagaimana dilaporkan Lembaga Oryza per 18 Maret 2016. Harga beras Thailand 25% broken (setara beras medium di Indonesia) tercatat US$ 355 – US$ 365 per ton, beras Vietnam 25% broken US$ 355 – US$ 365 per ton, dan beras India 25% broken US$ 335 – US$ 345 per ton.

Para analis umumnya mengolah lagi informasi dasar tentang harga beras itu, disesuaikan dengan paritas impornya dengan mempertimbangkan ongkos angkut, asuransi, dan lain-lain. Pada akhir bulan, BPS akan mengeluarkan laporan resmi yang diolah dari beberapa data harga beras dari sekian macam instansi resmi.

BPS juga melakukan pencatatan berkala tentang perubahan harga beras dan harga pangan strategis lain bersama harga-harga umum, menjadi angka laju inflasi yang dilaporkan setiap awal bulan berikutnya.  BPS melakukan pengolahan tingkat lanjut harga dan produksi barang dalam suatu tabel input-output (I-O), khususnya tabel suplai dan penggunaan atau supply and use table (SUT) walau terlambat beberapa tahun. Tabel I-O amat bermanfaat untuk analisis akademik dan kebijakan ekonomi, berikut intervensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa di masa depan.

Penanganan pascapanen

Antisipasi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi kemarau basah ini ialah memperbaiki penangan pascapanen, dari tingkat penggilingan sampai transportasi dan distribusi. Berdasarkan hasil pendataan industri penggilingan padi (PIPA) yang dilakukan BPS (2012), jumlah penggilingan padi di Indonesia tercatat 182.199 unit, sebagian besar (94%) penggilingan skala kecil, 6% skala menengah, dan 1% skala besar.

Penggilingan padi skala besar mampu menghasilkan kualitas beras kepala sampai 82,5% dengan rendemen cukup tinggi 61,5%, sedangkan penggilingan padi hanya mampu menghasilkan beras kepala sampai 74,3% dan rendemen rendah sebesar 55,7%. Jika sebagian besar gabah di Indonesia diolah oleh industri penggilingan skala kecil, volume dan kualitas beras yang dihasilkan tidak terlalu tinggi. Pada kondisi kemarau basah, penggilingan skala kecil itu bahkan akan menderita inefisiensi cukup tinggi karena gabah yang basah akan mudah pecah dan hancur. Di masa depan, Indonesia perlu lebih serius memperbaiki penanganan pascapanen padi dan secara berkala meningkatkan skala usaha industri penggilingan padi ke arah skala menengah dan besar.

Pertama, memberikan fasilitas yang memadai pada investasi baru penggilingan beras skala besar, dan konsolidasi penggilingan skala kecil dan menengah, sesuai ketersediaan bahan baku dan infrastruktur pendukung di perdesaan. Langkah itu perlu dintegrasikan dengan pembangunan infrastruktur pertanian, terutama jalan, pelabuhan dan jaringan irigasi sebagai proksi penyediaan bahan baku di lapangan.

Kedua, melakukan penguatan kelembagaan kelompok tani, pendampingan yang terus-menerus untuk meningkatkan kapasitas pelaku usaha pangan, seperti pengembangan usaha pangan masyarakat (PUPM) dan lembaga usaha ekonomi pedesaan lainnya, baik yang difasilitasi pemerintah, maupun atas inisiatif masyarakat. Tingkat kewirausahaan akan menjadi cikal bakal penguatan industri penggilingan padi serta daya saingnya di masa depan.

Ketiga, mengembangkan sistem kemitraan petani dan penggilingan padi dalam suatu kerja sama contract farming yang adil dan beradab, sampai pada tingkat pasar induk dan pasar eceran. Sistem kemitraan itu seharusnya mampu berkontribusi pada perbaikan penyimpanan cadangan beras, manajemen pergudangan, dan peningkatan daya jangkau (outreach) sistem resi gudang (SRG) dan pasar lelang pada sentra produksi beras di seluruh Tanah Air.

http://www.mediaindonesia.com/news/read/35399/antisipasi-musim-panen-dan-kemarau-basah/2016-03-21#sthash.ggmHG876.dpuf

Read Full Post »