Feeds:
Posts
Comments

Archive for October, 2019

Pelembagaan Stabilitas Harga Pangan

Bustanul Arifin

Guru Besar UNILA, Ekonom Senior INDEF, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)

Media Indonesia, Kolom Pakar, Senin 6 Juni 2016

Kenaikan harga-harga pangan pangan pokok dan stratregis menjelang Ramadhan dan Idul Fitri bukan fenomena baru dan bukan unik terjadi di Indonesia. Kenaikan harga yang wajar pada kisaran 5-7 persen tentu masih mudah dipahami oleh masyarakat, karena nuansa peningkatan ekspektasi konsumsi.  Pedagang dan konsumen sama-sama menganggap akan terjadi kenaikan harga, sehingga masing-masing melakukan tindakan yang menciptakan tekanan khusus pada harga pangan. Pedagang besar dan pedagang pengecer umumnya berupaya menambah stok karena percaya permintaan akan meningkat pada Ramadhan dan menjelang hari besar keagamaan lain. Demikian pula, konsumen juga berupaya menaikkan konsumsi melebihi dari kebiasaan, juga untuk menambah persediaan di rumah.

Di banyak negara maju sekalipun, eskalasi harga pangan tertentu juga terjadi, bahkan terlalu ekstrem. Harga daging ayam kalkun (turkey) di Amerika Serikat (AS) naik berlipat-lipat setiap menjelang bulan November dan mencapai puncaknya pada minggu kedua November. Pada Kamis keempat bulan November, masyarakat AS merayakan Hari Syukur (Thanksgiving Day) untuk mengenang para imigran awal dari Eropa (berkulit putih) yang pertama mendarat di Benua Amerika, yang konon ditolong oleh warga asli Amerika (berkulit merah) atau yang biasa disebut Suku Indian. Hal yang menarik adalah para ekonom pertanian dan analis pasar lain di AS terkadang mengeluarkan atau tidak memasukkan tingkah laku harga yang memencil (outlier) pada masa tidak normal selama bulan November tersebut dalam suatu pergerakan harga yang lebih jangka panjang. Dengan kata lain, para akademisi dan masyarakat awam telah memaklumi terhadap fenomena eskalasi harga pangan daging ayam kalkun tersebut.

Di Indonesia, sebagian pemuka agama atau kaum alim-ulama, sikap latah – sekadar tidak menulis kalap – untuk menambah konsumsi pangan pada masa Ramadhan tentu cukup ironi. Kaum muslimin diajarkan untuk mengelola nafsu untuk konsumsi dan kesenangan duniawi lain dan menambah porsi ibadah dan pendekatan diri kepada Ilahi. Hal yang lebih menarik adalah bahwa siklus kenaikan harga pangan pokok dan strategis ini berlangsung rutin setiap tahun, bahkan dengan pola yang nyaris sama.  Pemerintah sering kali dianggap lamban memberikan respons dan melakukan antisipasi, walaupun pola kenaikan harga terus telah lama diketahui. Masyarakat akan menjadi lebih gusar apabila Pemerintah tidak terlihat satu suara dan tidak satu pendapat untuk melakukan penambahan persediaan untuk mengantisipasi kenaikan harga tersebut.

Contoh yang menarik untuk disebutkan di sini adalah tentang perbedaan pandangan tentang penangan kenaikan harga bawang merah, sehingga harus berpolemik di media massa. Kementerian Pertanian meyakini bahwa saat ini terdapat surplus bawang merah sampai 66.000 ribu ton, dengan perhitungan bahwa angka ketersediaan bawang merah mencapai 241.600 ton, sedangkan kebutuhan hanya diperkirakan 175.600 ton. Akan tetapi, Kementerian Perekonomian tidak terlalu yakin terhadap data atau estimasi yang disampaikan Kementerian Pertanian, utamanya karena harga pasar bawang merah masih berada pada harga tinggi.  Harga eceran bawang merah sempat mencapai Rp 45.000 per kilogram pada pertengahan Mei di beberapa pasar tradisional di Jakarta. Laporan data resmi dari situs Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa harga rata-rata bawang merah pada 3 Juni 2016 telah menurun menjadi Rp 40.320 per kilogram. Jika dibandingkan dengan harga bawang merah pada awal Juni 2015 yang mencapai 36.580 per kilogram, harga saat ini telah mengalami peningkatan 9,6 persen per tahun.

Kementerian Perekonomian bahkan berencana menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan impor bawang merah sebesar 2.500 – 5.000 ton, khusus untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bulan Ramadhan atau menjelang Idul Fitri. Di pihak lain, Kementerian Pemerintah juga tidak akan memberikan persetujuan rencana impor bawang merah tersebut karena dikhawatirkan mengganggu harga jual petani bawang merah di dalam negeri.  Bahkan, Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) akan melakukan demo ke Jakarta jika Pemerintah sampai melakukan impor bawang merah. Selama ini Perum Bulog sebenarnya terlah terlibat pada distribusi bawang merah di Indonesia dengan melakukan pembelian langsung kepada petani dan membantu melakukan penjulan pada sentra-sentra konsumsi di kota-kota besar.

****

Contoh kedua yang menarik untuk disampaikan di sini adalah eskalasi harga daging sapi yang masih bertengger pada harga Rp 120.000 per kilogram. Di Aceh, harga eceran daging sapi bahkan jauh melampaui Rp 150.000 per kilogram karena tradisi memeugang atau budaya mengawali Ramadhan dengan makan daging bersama sekeluarga besar. Kehormatan sebuah keluarga di Aceh akan dipertaruhkan jika pada awal Ramadhan tidak mampu memasak daging sapi dan menghidangkannya di dalam keluarga dan kerabat. Menurut data dari situs Kementerian Perdagangan, harga rata-rata daging sapi tercatat Rp 114.050 per kilogram, atau naik 11 persen dibandingkan Rp 102.700 per kilogram pada awal Juni 2015.

Masyarakat sebenarnya sudah amat paham bahwa pasokan daging sapi dari dalam negeri masih belum mencukupi untuk memenuhi permintaan. Dengan langgam peningkatan produksi dan produktivitas daging sapi selama Indonesia belum mampu berswasembada daging sapi.  Tim Studi Fakultas Pertanian Universitas Lampung (2015) pernah membuat estimasi bahwa Indonesia baru akan mencapai swasembada daging sapi pada 2022, jika mampu melakukan perbaikan strategi peningkatan produktivitas daging sapi.

Sebenarnya, Pemerintah telah melakukan antisipasi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri dengan meningkatkan rencana impor sapi bakalan pada 2016, sampai mencapai setara 600 ribu ton daging sapi.  Pemerintah mungkin belajar dari lonjakan harga daging sapi pada tahun 2015 yang lebih banyak disebabkan dari terhambatnya pasokan daging sapi yang masuk ke Indonesia.  Menariknya, dari hambatan pasokan impor sapi dan upaya untuk menanggulangi rantai nilai yang agak tertutup, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan investigasi pada beberapa industri penggemukan sapi (feedloter). Setelah melalu debat publik yang cukup panjang, akhirnya KPPU memutuskan untuk menghukum 32 perusahaan penggemukan sapi dengan rentang denda Rp 194 juta sampai 21 miliar. Industri daging sapi ini dianggap melakukan praktik usaha persaingan usaha tidak sehat dengan sengaja menahan pasokan sapi. Sambil menunggu upaya banding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi, upaya penegakan hukum oleh KPPU ini kemungkian akan menjadi preden baru pada iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia ke depan.

Pemerintah juga telah mengizinkan tambahan impor daging sapi beku atau secondary cut sebanyak 10 ribu ton lagi, khusus untuk mengantisipasi lonjakan permintaan daging pada masa Ramadhan dan Idul Fitri. Masyarakat mungkin tidak terlalu peduli tentang apakah impor daging sapi beku ini mampu menurunkan harga daing sapi sampai ke tingkat Rp 80.000 per kilogram sebagaimana dikehendaki Presiden Joko Widodo atau tidak.  Hal yang perlu dicatat adalah bahwa masyarakat Indonesia tidak terlalu terbiasa melakukan konsumsi langsung daging beku, dan rantai nilai daging beku belum mampu menembus jaringan pengecer daging di pasar tradsional.

****

Berdasarkan analisis atau gambaran kasus eskalasi harga pangan di atas, kinilah waktunya untuk lebih serius melakukan pelembagaan stabilitas harga pangan.  Pelembagaan atau aransemen kelembagaan yang dimaksud di sini dapat diartikan secara struktural dengan mewujudkan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pada Pasal 126-129 telah diamanatkan secara eksplisit kepada Pemerintah untuk membentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga struktural ini kelak diharapkan mampu melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.

Aransemen kelembagaan tentang stabilisasi harga pangan secara kultural atau secara sistem nilai sebenarnya dapat dilaksanakan apabila Pemerintah memiliki kewibawaan kebijakan di bidang pangan.  Di dalam buku teks dan praktik bisnis yang lazim, lima hal penting berikut setidaknya perlu diketahui atau dipahami oleh Pemerintah.  Pertama, penemuan harga (price discovery) melalui negosiasi formal dan informal oleh pelaku ekonomi atau perusahaan. Kedua, perdagangan biasa, pasar lelang, baik secara fisik, maupun secara elektronik. Ketiga, formula pembentukan harga yang fair. Keempat, kesepakatan harga pada kelompok produsen, koperasi, asosiasi, dan lain-lain yang melibatkan Pemerintah  Kelima, keputusan khusus oleh lembaga pemerintah karena pertimbangan tertentu.

Implementasi dari perumusan aransemen kelembagaan untuk stabilitas harga pangan di atas tentu memerlukan adaptasi ke dalam sistem dan kebijakan yang berlaku di Indonesia. Tidak terlalu berlebihan jika Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang memiliki jaringan kerja sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota perlu mulai mengembangkan aransemen kelembagaan untuk stabilitas harga pangan ke depan.

 

Read Full Post »

Mitigasi dan Adaptasi Kekeringan Ekstrem

Bustanul Arifin

Guru Besar UNILA, Ekonom Senior INDEF, Wakil Ketua Umum PERHEPI

Kolom Pakar, Media Indonesia, 16 September 2019

 

SEJAK Juli 2019, berita kekeringan telah melanda sentra produksi pangan di Indonesia dan menimbulkan puso atau gagal panen padi. Misalnya, kekeringan menerpa tanaman padi seluas 9.676 hektare di Jawa Tengah dan dikhawatirkan mengurangi hasil panen 77.080 ton gabah (mediaindonesia.com, 28 Agustus 2019).

Kekeringan juga melanda Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan telah terindentifikasi 78 hektare di Desa Done, Kecamatan Mega Panda, Kabupaten Sikka, (mediaindonesia.com, 12 September 2019). Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, 1.040 haktare sawah terancam puso karena kekeringan, yang berdampak secara langsung pada 649 keluarga atau 1.806 jiwa (cnnindonesia.com, 5 Juli 2019).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara resmi menyampaikan bahwa tujuh provinsi mengalami bencana kekeringan, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat (NTB), NTT, dan Bali. BNBP juga memperkirakan sekitar 20.369 hektare sawah dan tersebar di 1.969 desa di seluruh Indonesia terancam puso atau gagal panen karena kemarau tahun ini. Kementerian Pertanian juga menyampaikan bahwa pada rentang waktu 2009-2019, tercatat 33.188 hektare lahan pertanian mengalami gagal panen pada 2009 dan meningkat menjadi 244.861 hektare saat kekeringan ekstrem El Nino pada 2015. Jika seluruh desa produksi pangan itu mengalami gagal panen, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp3 triiun dan terancam akan kembali mengimpor pangan dalam jumlah besar (tirto.co.id, 22 Juli 2019). Berita-berita kekeringan di daerah lain juga masih cukup banyak.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosifika (BMKG) memperkirakan bahwa musim kemarau tahun ini masih akan berlangsung sampai November, melanda 161 daerah atau 47% zona musim. Awal musim hujan diperkirakan mundur sampai November, terjadi di 253 daerah atau 74% zona musim, jika dibandingkan dengan rata-rata 30 tahun (1981-2010). Peluang puso masih akan terjadi pada musim panen gadu sekarang karena kekeringan telah terjadi sebelum fase generatif terjadi dan mengganggu proses keluarnya malai padi.

Secara mikro rumah tangga, petani Indonesia masih harus berjuang untuk menyambung dan mempertahankan hidupnya karena gagal panen tersebut. Bagi petani, sawah yang puso ialah salah satu bencana dalam kehidupan usaha taninya, apalagi tidak semua petani ikut serta program asuransi pertanian yang dicanangkan pemerintah.

Dampak kekeringan ekstrem

Berdasarkan data produksi beras metode baru dengan kerangka sampel area (KSA), produksi beras Januari-September 2019 tercatat mencapai 26,91 juta ton, masih lebih rendah dari produksi beras periode yang sama 2018 yang mencapai 28,48 juta ton. Selisih produksi beras sebesar 1,57 juta ton tersebut seharusnya cukup menjadi warning bahwa kekeringan tahun ini telah membawa dampak pada produksi beras. Setelah memperhitungkan angka konsumsi dengan kisaran 2,5 juta ton per bulan, selisih surplus beras 2019 dengan 2018 tercatat 1,8 juta ton.

Metode KSA mencatat secara detail delapan fase pertumbuhan padi, yaitu vegetatif awal, vegetatif akhir, generatif, panen, persiapan lahan, puso/rusak, bera (diberakan), dan sawah nonpadi. Lahan sawah puso dan diberakan terdapat kecenderungan peningkatan signifikan pada 2019. Pada 2018, total luas lahan sawah puso tercatat 303 ribu hektare, sedangkan lahan sawah bera tercatat 11,5 juta hektare. Sampai Juni 2019, lahan sawah puso sudah tercatat 144 ribu hektare dan lahan sawah bera 3,9 juta hektare. Sangat mungkin bahwa produksi padi pada musim gadu sekarang ini turun drastis jika dibandingkan dengan 2018, apalagi perkiraan kekeringan jelas lebih besar dan melanda hampir seluruh sentra produksi padi di Indonesia.

Kekeringan ekstrem yang terjadi tahun ini telah membawa penundaan musim tanam, terlihat dari luas tanaman yang bera atau diberakan alias tidak ditanami. Siapa pun tentu akan mengalami kesulitan untuk menanam padi pada kondisi kekurangan air. Sifat khas produksi padi bahwa pergeseran musim tidak dapat mengompensasi penurunan produksi di suatu musim dengan peningkatan produksi pada musim tanam berikutnya. Sistem produksi padi di Indonesia sebagian besar (65%-70%) terjadi pada musim tanam pertama (rendeng) atau panen pada Maret-April dan 30%-35% sisanya terjadi mada musim tanam gadu sekarang.

Kecenderungan eskalasi harga

 

Harga rata-rata beras kualitas medium (beras setra ramos) di Pasar Induk Cipinang pada akhir pekan 13 September 2019 telah mendekati Rp10.163/kg, tidak jauh berbeda dengan harga rata-rata September 2018. Harga beras kualitas bagus (beras pandan wangi) di Pasar Induk Cipinang telah mencapai Rp13.088/kg, lebih tinggi dari harga September 2018. Harga eceran beras di pasar modern tentu jauh lebih tinggi lagi, yaitu mencapai Rp12.848/kg untuk kategori beras setra ramos dan Rp20.500/kg untuk kategori beras pandan wangi. Kekeringan dan gagal panen di beberapa sentra produksi sangat mungkin akan meningkatkan harga beras pada akhir 2019, lebih tinggi dari harga beras pada akhir 2018.

Bagaimana stok beras Badan Urusan Logistik (Bulog)? Sampai pertengahan 2019 ini, stok Bulog masih tercatat berjumlah 2,4 juta ton, terdiri atas beras domestik 1,15 juta ton dan beras impor 1,25 juta ton. Penyaluran beras Bulog 2019 ini terlihat lebih lamban karena salah satu kelompok sasaran (captive market) masyarakat tidak mampu (rastra) tidak lagi dilayani Bulog, tetapi oleh Kementerian Sosial pada program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Bulog terus melobi pemerintah agar diperkenankan menyalurkan beras pada kelompok sasaran atau keluarga penerima manfaat (KPM) dari BPNT tersebut. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah memberikan keleluasaan Bulog untuk menyalurkan beras pada program BPNT sampai akhir 2019.

Impor beras 2019 ini diperkirakan masih akan meningkat, mengingat pasokan dari dalam negeri mengalami hambatan karena kekeringan. Sampai Juni 2019, impor beras yang dicatat melalui Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dari Kementerian Keuangan telah mencapai sekitar 204 ribu ton dengan nilai US$87 juta atau setara devisa Rp1,2 triliun. Stok beras sedikit jauh lebih krusial jika dibandingkan dengan stok beras besar, sebagaimana yang diketahui publik. Selain pada akhir 2019, titik krusial berikutnya tentang dampak nyata dari kekeringan 2019 ini ialah pada Januari-Februari 2020, pada saat belum musim panen, sedangkan tekanan eskalasi harga masih terus menguat. Tentu tidak baik sebagai bahan komunukasi politik jika pemerintahan baru pada awal tahun kelak telah disibukkan dengan isu-isu eskalasi harga beras dan kontroversi impor beras seperti selama ini. Hal inilah yang perlu diantisipasi dengan baik melalui langkah-langkah mitigasi dan adaptasi kekeringan ekstrem.

Mitigasi dan adaptasi

 

Pertama, perbaikan manajemen pengelolaan air, utama sistem irigasi dan drainase. Lupakan dulu tentang siapa yang paling berhak atau memiliki kewenangan paling besar dalam seluruh rangkaian operasi dan pemeliharaan (operation and maintenance/O&M) jaringan irigasi. Hal yang paling penting ialah tentang ketersediaan air dan kualitas sistem dan jaringan irigasi. Petani dan masyarakat akan senantiasa siap bekerja sama dengan birokrasi, misalnya, untuk membersihkan saluran irigasi, menanggulangi sedimentasi sungai dan saluran air, memperbaiki bendungan agar sungai, dan air irigasi mampu mengalir sampai jauh.

Kedua, evaluasi menyeluruh kinerja pencetakan sawah, pembuatan embung, dan pemanenan air (water harvesting) yang telah dilakukan selama ini. Ukuran yang paling sederhana ialah jika sawah yang baru dicetak juga kering, seluruh sistem pengairan dipastikan bermasalah. Khusus tentang program pemanenan air, jika sebelum musim hujan tiba, air tampungan di sekian embung itu juga kering, sistem yang ada belum mampu menjadi cadangan atau upaya mitigasi dampak kekeringan.

Ketiga, perkuat pelestarian hutan di hulu dan daerah tangkapan air, dan sumber-sumber mata air yang akan menjaga pasokan air bagi tanaman dan bagi kehidupan umumnya. Langkah-langkah seperti itu akan lebih mencerahkan dan membawa ekspektasi besar bagi masyarakat jika dibandingkan dengan upaya penyangkalan dan perbantahan yang tidak produktif.

Keempat, penggunaan benih dan varietas yang tahan cekaman kekeringan dan bahkan genangan air. Langkah adaptasi kekeringan seperti ini memang bervisi jangka panjang dan memerlukan kerja sama atau uluran para peneliti dan akademisi untuk bekerjasa bersama petani dan masyarakat, serta mencarikan skala optimal yang dapat diusahakan secara menguntungkan.

 

Read Full Post »

Ketimpangan Pendapatan setelah Otonomi Daerah

Bustanul Arifin

Guru Besar UNILA, Ekonom INDEF & Ketua Dewan Nasional FITRA

Majalah TEMPO, 15 Juni 2019

Ketimpangan pendapatan pasca desentralisasi ekonomi sebenarnya telah diprediksi oleh para ekonom, walau sering disangkal oleh politisi.  Perubahan mendasar dalam pembagian kewenangan dan urusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pemda) serta perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemda tidak serta merta mampu menyelesaikan sumber ketimpangan pendapatan, yang lebih bersifat struktural.  Ekonom menggunakan ukuran makro Rasio Gini atau Gini Index yang membandingkan persentase penduduk yang menguasai sumberdaya dengan persentase pendapatan yang diperolehnya. Rasio Gini kecil menunjukkan ketimpangan rendah, dan sebaliknya Rasio Gini besar menunjukkan ketimpangan tinggi.

Artikel ini menganalisis ketimpanagan pendapatan dan kesenjangan wilayah, yang meningkat pasca otonomi daerah. Pemerintahan Kabinet Kerja mengalami kesulitan mengoreksi fenomena sensitif itu, sehingga perlu dirumuskan strategi alternatif yang lebih efektif ke depan.

Ketimpangan Pendapatan

Data terakhir Rasio Gini dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka 0,384 pada September 2018, menurun dibandingkan 0,391 pada September 2017. Rasio Gini mencapai angka tertinggi 0,410 pada 2011, meningkat tajam dari 0, 30 pada 2000 sebelum otonomi daerah. Ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan September 2018 lebih tinggi dibanding daerah perdesaan (0,393 vs. 0.319), dan menurun dibandingkan September 2017 (0,404 vs. 0,320).  Berhubung ketimpangan diukur dari data pengeluaran, pada September 2018 persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah penduduk adalah 17,47 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedikit meningkat dari 17,22 persen pada September 2017. Kenaikan pengeluaran per kapita kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah agak lebih cepat dibandingkan kelompok kaya 20 persen teratas. Penurunan ketimpangan pada masa Kebinet Kerja terasa lamban, walaupun telah digenjot dengan program Reforma Agraria, perbaikan administrasi pertanahan dan pemberian sertifikat tanah kepada petani kecil dan masyarakat perdesaan.

Desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah yang dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi kepada rakyat, ternyata belum mampu meningkatkan pemerataan pendapatan, bahkan sebaliknya.  Cukup banyak studi yang mengungkapkan penyebab ketimpagan pendapatan di Indonesia, walaupun dengan koefisien dan magnitude yang berbeda (Siddique dkk, 2008; Dyah, 2012; INDEF, 2018, dll).  Penyebab itu antara lain: kebijakan dan program inklusi sosial yang tidak berjalan baik, program intervensi yang tidak efektif, kualitas infrastuktur fisik dan infrastuktur sosial, inefisiensi sistem logistik yang menyebabkan biaya tinggi dan lain-lain.

Pada kesempatan lain, penulis mengidentifikasi setidaknya terdapat empat determinan ketimpangan, yaitu: (1) karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, karena kinerja sektor tradable seperti pertanian dan industri manufaktur yang tidak baik, (2) kepemilikan aset dan kapasitas produksi yang tidak merata, terlihat dari jumlah petani berlahan sempit yang meningkat, (3) akses faktor produksi dan sumberdaya produktif yang terbatas, karena buruknya infrastruktur di daerah perdesaan, (4) kebijakan subsidi yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran, seperti subsidi pupuk, subsidi pangan dan lain-lain (Arifin, 2015).

Alih-alih mampu mengurangi ketimpangan pendapatan, bahkan tingkat kesenjangan antarwilayah justeru semakin mengkhawatirkan.  Fenomena ketimpangan dan kesenjangan ini bukan perkara main-main, tetapi merupakan persoalan serius yang perlu diselesaikan. Langkah yang harus dilakukan tidak harus dengan berita pencitraan dan penyangkalan (denial), tapi dengan peta jalan yang sistematis dan terukur melibatkan pengampu kepentingan (stakeholders) lain, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), inisiatif yang melibatkan swasta dan masyarakat luas.

KesenjanganWilayah

Ekonom juga mengembangkan Indeks Williamson (IW) untuk mengukur kesenjangan wilayah yang didekati dari ketimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah pada waktu tertentu. IW membandingkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita suatu dearah dengan PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah. Mirip dengan Rasio Gini, angka IW kecil menunjukkan kesenjangan wilayah rendah dan IW besar menunjukkan kesenjangan wilayah tinggi.

Hasil kajian INDEF (2018) menunujukan bahwa pada awal dekade 1990an kesenjangan wilayah di Indonesia sembat menurun, terlihat dari angka IW 0,75 pada tahun 1990 yang turun menjadi 0,69 pada 1995. Angka IW memburuk menjadi 0,91 pada 2000 atau pasca Krisis Ekonomi Asia dan terus memburuk sejak otonomi daerah sampai mencapai 0,99 atau nyaris senjang sempurna pada 2003. IW terus bertahan tinggi pada kisaran 0,91 – 0,97 pada deakde 2000an dan pernah turun menjadi 0,91 pada 2015. Hasil studi Siddique dkk (2008) menyebutkan bahwa desentralisasi justeru meningkatkan ketimpangan pengeluaan penduduk antarprovinsi.  Dyah (2012) juga menyimpulkan bahwa banyak Pemda kurang memberikan perhatian terhadap program penurunan ketimpangan.

Banyak politisi mengira bahwa ketimpangan pendapatan dan kesenjangan wilayah disebabkan rendahnya Dana Perimbangan dari Pusat ke Daerah, dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAU), dan Dana Dekonsentrasi dan lainnya. Fakta dari Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) justeru menunjukkan sebaliknya.  Dana Perimbangan pada 2000 hanya Rp 30 triliun, kemudian naik menjadi Rp 111 triliun pada 2005, naik menjadi Rp 287 triliun pada 2010.  Politisi terus menuntut kenaikan Dana Perimbangan sampai Rp 583 triliun pada 2015 dan Rp 827 triliun (termasuk Dana Desa) pada APBN 2019.

Kualitas Penganggaran

Analisis lebih dalam terhadap fenomena meningkatnya Dana Perimbangan dan tingginya ketimpangan mulai menunjukkan titik terang, terutama setelah dibedakan menurut jenis Dana Perimbangan itu.  Peningkatan DAU justeru berkorelasi positif dengan ketimpangan, karena lebih banyak dibelanjakan untuk gaji pegawai, pengeluaran rutin, bahkan pembelian kendaraan dinas dan fasilitas birokrasi lainnya. Peningkatan DAK berkorelasi negatif dengan ketimpangan, maksudnya bahwa program-program khusus yang benar-benar dibutuhkan Daerah mampu mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. Analisis ekonometrika itu menunjukkan bahwa kemampuan penerimaan, yang ditunjukkan oleh penerimaan asli daerah (PAD) yang besar justeru berkorelasi positif dengan ketimpangan. Namun, kemampuan pengeluaran Pemda dalam mengalokasikan anggaran untuk pelayanan publik dasar berkorelasi negatif dengan ketimpangan.

Lebih spesifik lagi, alokasi belanja pelayanan dasar pendidikan berkorelasi positif dengan ketimpangan.  Hasil ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat kualitas penganggaran untuk pendidikan dasar masih banyak tertuju pada belanja rutin, peningkatan gaji guru dan pembangunan infrastruktur sekolah, yang mungkin tidak efektif. Hasil penelitian Ree dkk (2017) dengan metode ekonomi eksperimen yang dimuat dalam jurnal bereputasi tinggi Quarterly Journal of Economics edisi November 2017 menghasilkan kesimpulan double for nothing.   Kenaikan gaji guru dua kali lipat, termasuk melalui Sertifikasi Guru, memang mampu meningkatkan kepuasan guru akan penghasilannya, mengurangi kecenderungan guru untuk mencari pekerjaan sambilan, dan mengurangi keluhan guru tentang masalah keuangan rumah tangganya. Setelah berjalan 2-3 tahun, kenaikan gaji guru tersebut tidak mampu memperbaiki presetasi siswa (student learning’s outcome) dan tidak mampu memperbaiki hasil ujian siswa. Dengan kata lain, kenaikan gaji guru semata bukan merupakan opsi kebijakan efektif untuk memperbaiki upaya peningkatan produktivitas guru petahana (ASN) saat ini. Indonesia membutuhkan serangkaian program reformasi pendidikan dasar dan menengah yang mampu berkontribusi signifikan pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Terakhir, alokasi belanja kesehatan berkorelasi negatif dengan ketimpangan dapat ditafsirkan bahwa kualitas penganggaran sektor kesehatan yang lebih baik akan mampu meningkatkan akses masyarakat pada sumberdaya dan kegiatan produktif.  Penyakit degeneratif seperti stroke, jantung, diabetes, darah tinggi semakin banyak terjadi, baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari persoalan akses pangan, kualitas gizi, pola asuh dan pola hidup tidak sehat sejak usia dini. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi obesitas pada orang dewasa (18 tahun ke atas) cukup tinggi, meningkat dari 15,4 persen pada 2013 menjadi 21,8 persen pada 2018.  Prevalensi ini amat serius, mengarah penyakit degeneratif yang amat bahaya dan membahwa konsekuensi ekonomi yang lebih serius. Bahkan, persoalan penyakit tidak menular dan amat degeneratif ini menjadi beban berat bagi sistem jaminan kesehatan nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit sampai Rp 16 triliun pada 2018, suatu peningkatan signifikan dari Rp 9 triliun pada 2017.

Sebagai penutup, ketimpangan pendapatan dan kesenjangan merupakan masalah struktrual yang memerlukan upaya terukur untuk menanggulanginya. Intervensi program perlu spesifik lokasi, disesuaikan dengan kekhasan daerah.  Namun demikian, strategi berikut layak dipertimbangkan.

Pertama, peningkatan kualitas dan politik penganggaran negara, baik di Pusat, maupun di Daerah. Langkah ini memerlukan integrasi perencanaan pembangunan, efisieni alokasi anggaran dan implementasi program atau anggaran yang telah dialokasikan tersebut. Kedua, pelaksanaan strategi industrialisasi pedesaan yang efektif, integrai pembangunan pertanian, industrialisasi dan peningkatan nilai tambah, dan pengembangan ekonomi kreatif.

Ketiga, pengembangan kemitraan usaha besar dan kecil, termasuk skema contract-farming dalan dunia pertanian yang bervisi saling menguntungkan. Langkah ini amat diperlukan untuk memperbesar akses pasar bagi segenap pelaku ekonomi di daerah perdesaan. Di sinilah diperlukan sinergi peningkatan kapasitas dan pengembangan SDM perdesaan, pembenahan aransemen kelembagaan dan modal sosial (trust) dan pendampingan atau pemberdayaan masyarakat.

Keempat, penyempurnaan Reforma Agraria, yang meliputi reforma aset lahan dan reforma akses informasi pasar, perubahan teknologi dan pembiayaan atau lembaga keuangan. Reforma Agararia ini merupakan fixed variable yang harus ada, sebagai representasi kehadiran negara untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.

Read Full Post »

Babak Baru Diplomasi Sawit

Bustanul Arifin

Guru Besar UNILA, Ekonom INDEF dan Waketum PERHEPI

Kompas, 10 Juni 2019

Sebagaiman diketahui, Uni Eropa (UE) memberlakukan kebijakan energi terbarukan (Renewable Energy Directive (RED) II, yang melarang bahan baku biofuel, bioliquids dan lain-lain yang dianggap memiliki risiko tinggi perubahan tataguna lahan tidak langsung. Konsep Indirect Land Use Change (ILUC) ini berisiko tinggi tentu termasuk alih fungsi hutan alam menjadi kebun dan lahan pertanian dianggap dappat meningkatkan emisi gas rumah kaca. Kelapa sawit Indonesia akan dilarang masuk Uni Eropa, karena dianggap menjadi sumber deforestasi sampai 5 juta hektar pada periode 2008-2016.

Uni Eropa nampaknya sedang mencari-cari perkara baru dengan minyak sawit Indonesia. Tahun 2018 Indonesia memenangkan perkara di Majelis Panel Sengketa di Badan Perdagangan Dunia (WTO) dan di Mahkamah Tinggi Uni Eropa (The European Court Justice) atas pengenaan bea anti-dumping oleh Uni Eropa atas impor biodiesel Indonesia. Kini, Uni Eropa kembali mempersulit ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Eropa dengan kebijakan baru RED II, sebagaimana akan dianalisis pada artikel ini.

***

Terus terang, Indonesia cukup dibuat sibuk untuk menangkal dan membantah tuduhan ILUC berisiko tinggi tersebut, bahwa tidak hanya areal kelapa sawit saja yang semakin luas, tetapi areal pertanaman kedelai dan biji  rapa (rape seed) dan biji bunga matahari juga meningkat. Pada 2018, luas areal tanaman minyak nabati global telah mencapai 170 juta hektar dengan peningkatan yang amat pesat.  Areal tanaman minyak nabati tersebut hampir mencapai sepertiga luas areal tanaman biji-bijian yang hanya 670 juta hektar, suatu perkembangan yang perlu mendapat perhatian.Luas tanaman kedelai kini telah mencapai 9 kali lebih besar dibandingkan luas tanaman kelapa sawit. Akan tetapi, argumen untuk melibatkan fenomena yang terjadi di negara lain agak sulit untuk meyakinkan Uni Eropa bahwa Indonesia tidak sendirian menjadi kontributor pada ILUC berisiko tinggi dan mewarnai perubahan iklim global.

Indonesia juga berupaya membenahi peta luas lahan kelapa sawit, menjadi satu peta terintegrasi yang ditarget selesai pada Agustus 2019.  Saat ini Indonesia masih memiliki tiga versi data luas lahan kelapa sawit: 15,4 juta hektar versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 14,3 juta hektar versi Kementerian Pertanian, dan 16,8 juta hektar sesuai kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berikut 20 juta hektar areal kelapa sawit sesuai izin atau Hak Guna Usaha (KGU) yang telah dikeluarkan. Setidaknya, Pemerintah berharap bahwa dengan kebijakan satu data, tuduhan laju deforestasi sampai 5 juta kehtar selama 8 tahun oleh UE dapat dibantah dengan lebih objektif.  Sebagian kalangan tentu meragukan bahwa Uni Eropa akan demikian saja percaya terhadap argumen pihak Indonesia.

Kebijakan RED II itu sebenarnya masih fleksibel, dan lebih sebagai upaya tarik-ulur (baca: gertak sambal) Uni Eropa dengan Indonesia dan pemasok bahan baku bioenergi lain. Negara-negara Uni Eropa masih boleh mengimpor minyak nabati bersumber dari komoditas dengan ILUC risiko inggi, tetapi tidak dihitung sebagai bagian dari target sumber energi terbarukan yang disepakati harus 32 persen tahun 2030.  Tanggal 22 Mei 2019, Uni Eropa akan bersidang untuk mengambil keputusan bahwa RED II akan mengikat semua negara anggotanya, sehingga sangat mungkin Indonesia harus menempuh diplomasi bilateral, yang mungkin agak melelahkan. Spanyol dan Italia adalah dua negara Eropa yang banyak mengimpor minyak sawit Indonesia, baik sebagai bahan pangan, maupun bahan bioenergi.Swiss yang bukan bagian Uni Eropa cukup bersahabat dengan minyak sawit Indonesia dan boleh dijadikan hub perdagangan menuju pasar sawit Uni Eropa. Namun, tidak menutup kemungkian bahwa Swiss akan mengikuti trend baru perkembangan kebijakan di Uni Eropa, jika Indonesia tidak melakukan pembenahan kebijakan secara komprehensif di dalam negeri

****

Uni Eropa saat ini mengkonsumsi minyak rapa 5,1 miliar liter, minyak sawit 2,3 miliar liter, minyak kedelai 680 juta liter dan minyak matahari 243 juta liter (USDA, 2018).  Sebagian besar (senilai US$ 1,68 miliar) minyak sawit tersebut kini digunakan untuk kebutuhan industri, termasuk industri biodienergi, dan hanya US$ 672 juta yang digunakan sebagai bahan pangan (Eurostat, 2019).  Pasca kemenangan perkara di WTO dan Majelis Tinggi Eropa, impor biodiesel Uni Eropa dari Indonesia melonjak drastis pada 2018, yaitu mencapai nilai US$ 594 juta dari hanya US$ 22.4 juta nilai pada 2017.  Tidak heran jika Uni Eropa kembali  “bertingkah aneh” pada minyak sawit, karena minyak sawit memang jauh lebih efisien dalam menghasilkan minyak, baik sebagai produk pangan, maupun sebagai bioenergi. Minyak sawit telah menjadi pesaing utama dan mengancam eksistensi minyak rapa yang banyak diproduksi di Eropa.

Mungkin saja kekalahan Uni Eropa tahun 2018 dalam urusan anti-dumping impor biodiesel di WTO dan Mahkamah Tinggi Eropa terasa sangat menyesakkan, terutama bagi Parlemen Uni Eropa.  Sudah agak lama Uni Eropa menerapkan bea anti dumping impor biodiesel karena menuduh produsen biodiesel Indonesia memperoleh subsidi sangat besar, sehingga biaya produksinya amat rendah.  Indonesia dituduh menjual harga biodiesel di bawah harga pasar karena perlakukan “pemihakan” oleh Pemerintah.  Indonesia tidak terima atas tuduhan itu dan mengajukan perkara ke Majelis Panel Sengketa di WTO.  Bahkan faktanya adalah ekspor Indonesia menurun drastis dari US$ 649 juta pada 2013 menjadi US$ 150 juta pada 2016, bahkan pernah mencapai titik terendah US$ 68 juta pada 2015.

Majelis Hakim Panel Sengketa WTO pada Januari 2018 memenangkan Indonesia yang telah terbukti dirugikan  oleh kebijakan Uni Eropa tersebut.  Dalam amar keputusannya Majelis Panel menyebutkan bahwa Uni Eropa menerapkan proteksionisme dan diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia.  Menariknya, Mahkamah Tinggi Uni Eropa pada Maret 2018 justeru memperkuat keputusan WTO dan memerintahkan Uni Eropa mencabut bea anti-dumping impor biodiesel dari Indonesia, yang  berkisar 8.8 sampai 23.3 persen.  Dampaknya, ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa melonjak tinggi pada 2018 dan mencapai US$ 594 juta tersebut di atas.

****

Diplomasi minyak sawit bukan suatu proses yang linier, tapi lebih sering berliku dan terkadang melelahkan.  Beberapa opsi berikut sebenarnya telah disipakan oleh Indonesia:

Pertama, kampanye positif tentang peran kelapa sawit pada perekonomian domestik, pengembangan wilayah, pengentasan kemiskinan dan lain-lain.  Langkah ini dapat ditempuh rangkaian urusan diplomasi ekonomi biasa oleh para duta besar, diplomat, dan kantor perwakilan lain, tapai juga dapat ditempuh oleh para akademisi, peneliti dan stakeholders lain melalui publikasi ilmiah yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, Pemerintah dan dunia usaha dapat saja meneruskan sekian macam perundingan baik secara individu negara secara bilateral dan/atau melaui Uni Eropa, seperti European Union-Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).  Strategi “tarik-ulur”  yang sudah dibahas pada forum resmi boleh saja ditambah dengan sedikit bluffing misalnya tentang perdagangan produk otomotif dan pesawat terbang.

Ketiga, notifikasi keberatan pada Majelis Panel Sengketa di WTO bahwa Uni Eropa telah bertindak diskriminatif dan melakukan restriksi impor biodiesel Indonesia, sebagai altermatif terakhir.  Langkah ini perlu dipertimbangkan matang dan dihitung dengan cermat serta dilengkapi analisis sosial-ekonomi dan fakta hukum yang akurat. Kemenangan pada perkara anti-dumping tidak dapat diterjemahkan secara linier bahwa Indonesia akan dengan mudah memenagi perkara dalam konteks RED II ini. Apalagi, permasalahan tentang ILUC atau alih fungsi lahan hutan (konversi) menjadi lahan perkebunan lebih banyak berhubungan dengan konsistensi kebijakan di dalam negeri.  Diplomasi ekonomi itu dimulai di dalam negeri.

 

Read Full Post »

Masa Depan Stabilisasi Harga Pangan Pokok

Prof. Dr. Bustanul Arifin

Guru Besar UNILA, Ekonom Senior INDEF

Bisnis Indonesia, 20 Mei 2019

Masa depan kebijakan stabilisasi harga pangan pokok kembali diselimuti ketidakpastian, karena upaya menyempurnakannya sejak 2018 atau sebelumnya seakan tertunda karena kondisi politik yang mempersiapkan Pemiliah Umum 17 April 2019.  Maksud Pemerintah untuk melindungi petani produsen dituangkan melalui penetapan harga referensi di hulu, melalui harga pembelian pemerintah (HPP). Pemerintah juga melindungi konsumen, terutama dari kelompok miskin, melalui penetapkan harga eceran tertinggi (HET), agar konsumen tidak terlalu buruk menderita dari lonjakan harga pangan pokok.

Artikel ini menganalisis masa depan stabilisasi harga pangan pokok, khususnya gabah dan beras, sehubungan dengan ketidakjelasan keputusan kebijakan karena peristiwa politik. Sementara itu, dua landasan kebijakan stabilisasi harga sedang mengalami krisis kredibilitas, karena tidak mampu ditegakkan secara baik, karena kondisi di lapangan sudah jauh dari ideal.

Batas Bawah dan Batas Atas

Kebijakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani dirumuskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.  Pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) sebagai referensi yaitu Rp 3.700 per kilogram di tingkat petani dan Rp 4.600 per kilogram di tingkat penggilingan. Secara teori, HPP ditetapkan di atas harga keseimbangan pasar, karena pada musim panen harga pasar biasanya turun di bawah harga keseimbangan. Esensinya, Pemerintah menhaga agar harga gabah tidak turun di bawah HPP.  Jadi, kelebihan pasokan (excess supply) diserap Pemerintah, melalui Perum Bulog, melalui proses pengadaan atau pembelian dari gabah dan beras dari petani.

Akan tetapi di lapangan, sejak ditetapkan Inpres/2015 tersebut, harga gabah petani nyaris tidak pernah berada di bawah HPP, tapi jauh di atas HPP.  Pada tahun 2018 sejumlah ekonom pertanian pernah secara langsung menyampaikannya pada Presiden Joko Widodo bahwa kebijakan harga referensi harga tersebut tidak efektif, dan menyarankan untuk mengubah kebijakan. Pemerintah pernah menetapkan toleransi dan fleksibilitas dari HPP sampai Rp di atas 4.000 dengan harapan bahwa target-target pengadaan gabah setara beras Perum Bulog memenuhi target sekitar 1.5 – 2.0 juta ton, sebagai syarat aman stabilitas harga.  Kejadian rendahnya kinerja pengadaan pada tahun 2017, terutama karena terdapat gangguan produksi, ternyata berimbas pada kontroversi impor beras 500 ribu ton pada awal 2018. Masyarakat akhirnya paham bahwa total impor beras pada tahun 2108 mencapai rekor tertinggi 2,25 juta ton, senilai lebih US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15 triliun.

Kini, pada musim panen April-Mei ini, harga gabah kering panen (GKP, kadar air 20 persen) di tingkat petani jatuh sampai Rp 4.357 per kilogram pada April, turun sekitar Rp 1.000 per kilogram dibandingkan harga Januari Rp 5.353 per kilogram atau turun 4.37 persen dari harga April 2018  Rp 4.556/kg.  Harga gabah kulitas rendah (kadar air 25 persen) juga anjlok sampai Rp 4.022 per kilogram, atau turun 6.65 persen dibandingkan dengan harga April 2018 sebesar Rp 4.309 per kilogram.  Benar, bahwa anjloknya harga gabah sekarang belum sampai di bawah referensi HPP pada Inpres 5/2015.  Akan tetapi, biaya produksi padi saat ini sekitar Rp 4.079 per kilogram, karena biaya upah tenaga kerja dan sewa lahan yang tinggi, disamping biaya pupuk dan pestisida yang juga tinggi.

Di sisi hilir, Pemerintah menetapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 atau biasanya cukup ditulis Permendag 57/2017.  Terdapat tiga jenis HET berdasarkan wilayah untuk setiap kualitas beras medium dan beras premium.  Untuk beras medium dan premium, HET ditetapkan masing-masing: (1) Rp 9.450 dan Rp 12.800 per kilogram di Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara barat dan Sulawesi; (2) Rp 9.950 dan 13.300 per kilogram, di Sumatera selain Lampung, Sumsel, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan, dan (3) Rp 10.250 dan 13.600 per kilogram di Maluku dan Papua.

Mirip dengan harga di hulu, harga beras kualitas premium April 2019 di penggilingan masih Rp 9.465 per kilogram, walau turun Rp 500/kg dibandingkan harga Januari 2019.  Harga beras kualitas medium pada April 2019 di penggilingan Rp 9.144 per kilogram atau turun hampir Rp 800/kg dibandingkan harga Jauari 2019.  Harga-harga di penggilingan ini amat jauh di atas HPP beras sebesar Rp 7.300 per kilogram di Gudang Bulog seperti diatur pada Inpres 5/2015.  Bahkan, harga eceran beras kualitas medium pada April 2019 tercatat Rp 14.021 per kilogram, masih jauh lebih tinggi dari HET sesuai Permendag 57/2017.  Harga eceran beras relatif tidak berubah, apalagi pada masa Ramadhan seperti sekarang, karena hanya mengalami penurunan 0.25 persen dibandingkan  harga pada April 2018.

Arah Perubahan Kebijakan

Masa depan stabilisasi harga pangan pokok tergantung sepenuhnya pada Pemerintah untuk merevisi kebijakan stabilisasi harga setidaknya dengan opsi kebijakan berikut.

Pertama, mengubah atau menyesuaikan HPP dan HET sesuai perkembangan terkini, laju inflasi, kenaikan biaya produksi dan lain-lain. Penulis pernah melakukan perhitungan sederhana bahwa HPP untuk GKP (kadar air di bawah 25 persen) berkisar pada rentang Rp 4.200 – 4.400 per kilogram di tingkat petani dan Rp 4.250 – Rp 4.450 per kilogram di tingkat penggilingan. HPP untuk GKG (kadar air di bawah 14 persen) berkisar pada rentang Rp 5.000 – Rp 5.400 di tingkat petani dan Rp 5.050 – Rp 5.450 di tingkat penggilingan. HPP beras di tingkat petani adalah Rp 8.000 – Rp 8.200 per kilogram.

Kedua, mengubah desain besar kebijakan stabilisasi harga pangan pokok, terutama karena terdapat perubahan radikal kebijakan subsidi konsumen miskin dari beras untuk keluarga pra-sejahtera (Rastra) ke bantuan pangan non-tunai (BPNT). Suka atau tidak suka, kebijakan BPNT telah mengubah target-target pencapaia ketahanan pangan.  Penanganan BPNT oleh Kementerian Sosial yang menekankan pada bantuan sosial dan penanggulangan kemiskinan tentu berbeda secara falsafah dengan penyaluran Rastra yang selama ini dilaksanakan Bulog bersama Pemerintah Daerah, yang lebih bernuansa fungsi penyangga, stabilisasi harga dan ketahanan pangan. Maksudnya, adalah bahwa kebijakan di hulu tingkat petani dan di hilir tingkat konsumen berada pada satu pintu dan diatur lebih kuat setidaknya melalui Peraturan Presiden.

Ketiga, menyempurnakan kebijakan pangan secara komprehensif karena dimensi yang harus diperhatikan juga bertambah, seiring dengan berkembangnya ilmu data (data science), teknologi informasi dan komunikasi, fenomena disrupsi teknologi, tumbuhnya generasi milenial dalam dunia usaha, dan Revolusi Industri 4.0 dan Revolusi Pertanian 4.0 yang sudah berdenyut.  Tidak ada yang mampu menahan laju perubahan yang demikian deras. Tapi, manusia masih mampu menyesuaikan arah perubahan kebijakan yang harus diambil.

Read Full Post »