Bustanul Arifin
Majalah InfoBank, Edisi Oktober 2012
Prospek industri agribisnis Indonesia pada tahun 2013 relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada 2012 yang penuh drama, karena dampak kekeringan di negara-negara besar produsen pangan, seperti Amerika Serikat, Rusia dan Australia. Di belahan bumi lain, Brazil sebagai salah produsen gula dan kedelai terbesar di dunia juga sedang mengalami anomali cuaca yang relatif basah, yang sempat membuat harga-harga cukup liar. Pertanyaan yang perlu segera dijawab adalah apakah dampak keliaran dan fluktuasi harga-harga komoditas agribisnis pada tahun 2012 masih akan berlanjut pada tahun 2013? Jika pemulihan sisi suplai dan stabilitas harga tidak kunjung tercapai pada kuartal pertama 2013, apa saja yang harus dilakukan industri agribisnis di Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas secara lugas, pertama perlu diuraikan kondisi industri agribisnis selama ini serta kecenderungannya dalam beberapa tahun terakhir. Industri agribisnis Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu: (1) kelompok industri primer yang sangat mengandalkan pasar ekspor karena pasar domestik tidak terlalu berkembang dan industri sekunder hilir di dalam negeri tumbuh masih sangat lambat, (2) kelompok industri pangan pokok, yang umumnya didominasi oleh pangan sumber karbohidrat dan sedikit protein, (3) kelompok industri hortikultura, dengan andalan bunga dan buah-buahan plus sedikit tanaman hias dan tanaman obat, dan (4) kelompok industri basis peternakan, terutama unggas dan produk unggas, dengan karakter yang sedikit berbeda. Tanpa bermaksud mengesampingkan industri berbasis perikanan-kelautan dan kehutanan, potret masing-masing kelompok industri agribisnis di atas dapat diuraikan berikut ini:
Pertama, kelompok industri primer didominasi oleh komoditas perkebunan seperti: kelapa sawit, karet, kopi, kakao, lada, teh dan lain-lain. Produk primer perkebunan selama ini lebih banyak untuk mengisi pasar-pasar ekspor dan pengumpul devisa. Kecuali teh dan lada, secara umum kinerja produksi kelompok ini cukup baik dan sangat baik, dengan performa ekspor cukup spektakuler. Ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang mencapai 18 juta ton dengan nilai devisa melebihi US$ 16 juta tentu menjadi salah satu andalan ekspor yang mampu menggoyang pasar global. Keputusan Pemerintah untuk menggenjot produk hilir sawit dengan mengenakan pungutan ekspor (PE) hingga 25 persen – tergantung harga jual – sempat membut marah pelaku industri sawit di Malaysia. Mereka khawatir tidak memperoleh pasokan CPO yang memadai dari Indonesia dan mengancam eksistensi industri atau kilang pengolahan produk turunannya. Pada tahun 2013, industri primer kelapa sawit tetap akan menjadi andalan penerimaan devisa negara dengan tantangan yang juga tidak kalah berat, karena tekanan politik, persaingan bisnis dan spekulasi pasar pada tingkat bursa global masih akan mewarnai dinamika CPO.
Masih segar dalam ingatan masyarakat, CPO Indonesia tidak berhasil diterima sebagai salah satu dari 54 produk ramah lingkungan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Vladivostok September 2012. Amerika Serikat (AS) dan Eropa selama ini terkenal sangat kritis – dan cenderung nyinyir – terhadap CPO Indonesia. Walau pun Indonesia telah berjuang untuk memiliki skema standarisasi dan sertifikasi sendiri atas produk kelapa sawit yang dikenal dengan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), AS dan Eropa masih akan mencari kelemahan CPO Indonesia. Posisi negara-negara besar yang sangat berpengaruh pada Forum Ekonomi Regional APEC tersebut seharusnya telah diantisipasi dari awal. Sikap antisipatif, tegar, dan deterministik dari para pemimpin Indonesia tentu sangat dihargai oleh masyarakat, dibandingkan dengan sikap membantah-menyangkal (denial) bahwa KTT APEC bukan arena negosiasi dagang. Setiap pertemuan dua negara atau lebih seharusnya diperlakukan sebagai sebagai ajang diplomasi ekonomi dan arena negosiasi untuk memperjuangkan kepentingan nasional di kancah global.
Komoditas perkebunan lain yang diperkirakan akan rebound pada 2013 adalah karet, kopi dan kakao karena fenomena penuruan harga produk primer ini tidak berlanjut terus menerus. Berbeda dengan CPO, peningkatan produksi dari komoditas ekspor ini tidak terlalu cepat, karena lebih dari 85 persen pelakunya adalah petani kecil dengan skala ekonomi tidak terlalu menguntungkan. Produksi karet 2013 dapat saja menembus 3 juta ton, produksi kakao mampu di atas 700 ribu ton dengan sedikit usaha dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan kopi masih berkisar 600 ribu ton karena keterbatasan lahan untuk ekspansi, kecuali ke daerah penyanggah hutan lindung dan Taman Nasional. Upaya hilirisasi produk primer dari karet masih akan lambat karena persoalan mendasar iklim investasi di Indonesia, dan kompatibilitas bisnis plus kinerja sebagian besar Pemerintah Daerah tidak terlalu baik. Industri hilir berbasis kakao mungkin akan berkembang, bergantung pada konsistensi dan dukungan Pemerintah untuk mewujudkan strategi peningkatan nilai tambah kakao di dalam negeri. Pungutan ekspor yang dikenakan pada biji kakao akan menjadi bahan pemantauan masyarakat luas, terutama jika strategi hilirisasi terjebak pada struktur pasar yang tidak sehat. Prospek industri hilir berbasis kopi pada 2013, terutama industri makanan, industri kuliner akan berkembang sangat pesat, terutama karena perubahan hidup kaum urban yang semakin terbiasa dan bahkan mencandu untuk menyelesaikan urusan-urusan bisnisnya di kedai-kedai kopi.
Catatan penting lain untuk industri primer perkebunan ini fluktuasi harga, yang dapat saja terjadi di luar keseimbangan penawaran dan permintaan, karena spekulasi pemain-pemain besar komodits di tingkat global. Diskusi publik tentang gagasan Bursa Regional Komoditas Asia juga akan menjadi agenda publik pada tahun 2013, terutama karena Indonesia menjadi Ketua Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Di pasar spot komoditas, struktur pasar komoditas primer masih cenderung oligopsoni dan arah pergerakan transmisi harga yang cenderung searah pasti akan merugikan petani sebagai pengampu kepentingan yang paling besar jumlah dan magnitude-nya. Konsekuensinya adaah bahwa kenaikan harga di tingkat global sangat lambat ditransmisikan kepada harga jual produk petani; akan tetapi penurunan harga di tingkat global cepat sekali sampai ke tingkat petani. Apabila Bursa Regional itu mampu menjadi insentif besar bagi seluruh pelaku industri untuk meningkatkan mutu komoditas primer di hulu, menjadi referensi pada pembentukan harga di tingkat domestik, maka diskusi publik yang berkembang akan cenderung positif. Demikian pula sebaliknya.
Kedua, kelompok industri pangan pokok pada 2013 mungkin akan berkembang, walau tidak sedahsyat perkembangan pada kelompok industri primer. Tantangan serius dari faktor eksternal masih akan mewarnai kinerjanya, seperti perubahan iklim, eskalasi harga pangan strategis, semakin berdampak pada kinerja produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri. Struktur perdagangan komoditas pangan pokok, terutama beras, semakin sulit dipercaya setelah negara-negara produsen beras lebih terfokus mengatasi persoalan di dalam negerinya. Mereka tidak jarang melakukan kejutan-kejutan perdagangan (trade shocks) seperti restriksi ekspor dan proteksi berlebihan, sehingga Indonesia tidak pantas menggantungkan urusan ketahanan pangannya hanya kepada beras impor.
Produksi pangan akan menjadi cerah atau suram sebenarnya banyak ditentukan oleh kesungguhan pemerintah sebagai pemilik kewenangan eksekusi, beserta seluruh pengampu kepentingan sektor pertanian dalam membangun dan melaksanakan rencana pembangunan pertanian yang telah dirumuskan. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih, apalagi berambisi mencapai target besar mencapai swasembada untuk lima komoditas strategis: beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi nanti pada tahun 2014. Kenaikan produksi beras sampai 4,3 persen pada tahun 2012 mungkin akan berlanjut pada 2013, walaupun masih tergantung pada sistem insentif yang diberikan pada petani padi, plus upaya besar perbaikan infrasturktur irigasi, drainase, dan strategi adaptasi perubahan iklim. Akan tetapi, target swasembada beras mungkin relatif paling aman, walau pun untuk memenuhi surplus sebenarnya sampai 10 juta ton pada 2014 masih sulit tercapai. Terlalu sulit untuk menghentikan laju konversi lahan sawah subur menjadi kegunaan lain, serta untuk mengejar perbaikan sistem infrastruktur irigasi yang telah rusak cukup parah, jika tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan Pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah.
Kenaikan produksi jagung juga akan berlanjut, walau pun masih cukup sulit untuk mencapai target 24 juta ton yang dicanangkan Pemerintah. Target swasembada jagung mungkin masih dapat tercapai, asalkan semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar dilaksanakan secara konsisten, mulai dari ketersediaan benih unggul (hibrida), pupuk yang tepat dan penanganan hama-penyakit yang terpadu. Petani jagung tidak boleh dikecewakan oleh sistem usahatani dan kelembagaan pemasaran dan penanganan pasca panen yang umumnya berhubungan dengan industri pakan ternak. Target swasembada gula 4,2 juta ton hampir pasti tidak akan tercapai pada 2014 karena persoalan kelembagaan yang melingkupinya terlalu kusut, mulai dari tingkat usahatani di hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai pada struktur pasar dan pemasaran yang penuh misteri. Target swasembada kedelai 2,5 juta ton pada 2014 juga sulit tercapai karena fenomena ”dekadelisasi” di Indonesia telah demikian parah, terutama selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 2012, areal panen kedelai menurun secara drastis sampai pada laju 6 persen per tahun dan kini hanya tinggal 567 ribu hektar. Produksi kedelai menurun terus dengan laju lebih dari 6 persen dan kini hanya mencapai 780 ribu hektar. Sekadar perbandinga, lahan kedelai pernah mencapai 1,4 juta hektar dan produksi kedelai pernah mencapai 1,8 juta ton pada awal 1990an. Sudah terlalu lama sistem insentif dan kebijakan pada agribisnis kedelai rusak (atau sengaja dirusak?) karena inkonsistensi para pemimpin di negeri ini. Siapa pun harus mampu bersikap realistis karena akan sangat sulit untuk membalikkan keadaan menjadi seperti negeri dongeng.
Uraian di atas seharusnya telah memadai untuk menjelaskan bahwa kinerja produksi pangan dalam negeri yang buruk akan sangat rentan terhadap gejolak produksi pangan di luar negeri. Sebagian besar (89 persen) impor kedelai Indonesia yang mencapai hampir 2 juta ton tersebut berasal dari Amerika Serikat, sehingga fenomena kekeringan di AS langsung melonjakkan harga kedelai di dalam negeri. Solusi kebijakan instans pemerintah dengan menghapus tarif impor bea masuk kedelai mungkin menjadi kosmetik sesaat. Akan tetapi langkah kebijakan instan tersebut bukanlah opsi yang tepat, jika target Pemerintah memang ingin mencapai swasembada kedelai. Kebijakan pangan yang mampu meningkatkan ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa tidak akan pernah dicapai dengan cara potong kompas. Pencapaian tujuan mulai tersebut memerlukan keteguhan hati pemimpin, konsistensi kebijakan, dan integritas perumus dan pelaksana kebijakan di negeri ini.
Terakhir, adalah Produksi daging sapi 2011 diperkirakan mencapai 280 ribu ton, dan masih cukup jauh dari angka konsumsi yang mencapai 400 ribu ton setiap tahun. Akibatnya, Indonesia harus melakukan impor sapi dari Australia sebanyak 300-500 ribu ekor sapi hidup (30-40persen dari total). Sesuatu yang menarik dari statistik sapi adalah bahwa Hasil Sensus Sapi Tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah populasi sapi (dan kerbau) adalah 15 juta ekor. Jumlah ini sebenarnya lebih tinggi dari estimasi selama ini 13,5 juta ekor. Jika data BPS ini benar, maka Indonesia seharusnya sudah mencapai swasembada daging, sehingga tidak harus menunggu sampai 2015. Fakta yang terjadi adalah bahwa Indonesia sampai saat ini masih mengimpor sapi hidup dan bahkan daging sapi, yang sering menimbulkan pertanyaan kritis dari masyarakat. Tahun 2012, ekonomi daging sapi diperkirakan akan mengalami peruahan radikal karena perbedaan data dan kebijakan yang demikian tajam. Ekonomi daging sapi mirip dengan ekonomi beras, bahwa persoalan ada di basis estimasi kebutuhan daging dan rente ekonomi (politik) impor sapi (+daging sapi). Langkah awal untuk membenahinya adalah memperjelas berbagai ketidakpastian tentang data produksi dan konsumsi daging sapi, sehingga target-target swasembada daging dapat diperodoksi dengan akurat.
Sebagai penutup, tantangan ekonomi pangan berupa ancaman defisit suplai pada pangan pada 2012 dapat dicegah dan ditanggulangi jika pemerintah, swasta dan petani mampu bekerja sama lebih setara dan seimbang. Komoditas pangan lain yang juga penting tapi tidak dibahas secara rinci adalah minyak kelapa sawit, kopi, kako, teh, produk hortikultura dan sebagainya. Tantangan ekonomi pangan akan dapat dihadapi dengan baik hanya dengan pengembangan sistem insentif baru yang berbasis inovasi wajib dikembangkan karena masa depan ketahanan pangan akan lebih bertumpu pada basis penguasaan, penerapan dan efisiensi teknologi inovasi baru untuk menjawab tantangan ekonomi pangan yang lebih dinamis.
Pengembangan bioteknologi bidang pangan dan pertanian juga perlu menjawab tantangan ekonomi pangan yang lebih besar dan strategis. Teknologi rekayasa genetika menjadi harapan baru untuk melakukan stratei antisipasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pengembangan varietas pangan baru, yang lebih tahan musim kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, bahkan sampai pada upaya spesifik peningkatan protein dan asam amino tertentu, pengurangan kadar gula dan lemak yang amat dibutuhkan oleh kelompok konsumen tertentu.
assalamualaikum. wr. wb
nama saya danang sudarso W.P.J.W, mahasiswa pascasarjana MB IPB, saya mau menayakan kepada bapak, bagaimana cara mendapatkan data 5 tahun terakhir tentang sektor agribisnis di indonesia..?
Ada semua di http://www.bps.go.id. Ya, perlu sabar, harus dicari per tahun, satu-per-satu. Makanya terjemahan “research” dalam Bahasa Indonesia menjadi sangat tepat dengan “penelitian”, bukan sekadar “riset”…:)
Assalamualaikum pak , saya mau menanyakan tata cara untuk menjadikan sebuah desa binaan berbasis agribisnis di kawasan lampung timur yang awalnya akan dimulai dengan pemanfaatan lahan pekarangan ?
Pertanyaan yang kedua, untuk mengadakan program tersebut bisakah kita mengajukan permohonan dana dan kepada siapa yang sekiranya bisa membantu ?
Terima kasih pak
Wassalualaikum wr.wb