Dampak El-Nino pada Neraca Beras 2023
Bustanul Arifin
Kompas, 8 Agustus 2023
Fenomena kekeringan ekstrem El Nino pada 2023 sudah terjadi, sesuai dengan prediksi pakar agroklimatologi. El Nino yang terjadi saat ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir siklusnya, yaitu hingga pertengahan 2024. Fenomena iklim yang terjadi di Samudra India yang disebut Indian Ocean Dipole (IOD) juga sedang berlangsung normal sehingga kekeringan mulai melanda sebagian besar sentra produksi pangan Indonesia.
Ekspektasi baiknya, jika fenomena IOD menuju negatif hingga Agustus 2023—yang berarti suhu permukaan laut perairan Indonesia menghangat dan membentuk awan—beberapa daerah di Indonesia masih turun hujan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah merilis laporan curah hujan di bawah normal berkisar 20-50 milimeter (mm) di sebagian sentra produksi padi di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi hingga Juli 2023. Bahkan, pada Agustus-September 2023, curah hujan di sentra utama produksi padi tersebut berada di bawah 20 mm. Prakiraan terjadinya kondisi deret kering yang panjang sangat besar, atau terjadi lebih dari 15 hari kering berturut-turut.
Prakiraan serupa telah disampaikan Pusat Studi Manajemen dan Resiliensi Iklim Asia Tenggara dan Pasifik Institut Pertanian Bogor (CCROM-IPB), yakni sentra produksi padi utama Indonesia tersebut mengalami kekeringan. International Research Institute for Climate and Society (IRI) di Columbia University, AS, juga merilis prakiraan kekeringan di Indonesia sejak pertengahan 2023 hingga Februari 2024. Terdapat sedikit perbedaan yang agak melegakan. CCROM-IPB memprakirakan curah hujan di Sumatera bagian Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat cukup rendah, tetapi masih di atas 50 mm karena faktor IOD yang mengarah ke negatif seperti dijelaskan sebelumnya.
Artikel ini menganalisis dampak El Nino pada neraca beras 2023 dan kecenderungan lain yang menyertainya. Juga rekomendasi strategi dan kebijakan produksi, rantai nilai beras, dan adaptasi perubahan iklim.
Dampak pada neraca beras
Berdasarkan estimasi produksi dan luas panen dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik, neraca beras nasional mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus, dan September 2023. Jumlah defisit beras selama tiga bulan itu diestimasi sebesar 420.000 ton setelah lima bulan berturut-turut neraca beras surplus 4,35 juta ton. Surplus pada musim rendeng terjadi karena kinerja luas panen pada Maret dan April sangat tinggi sehingga produksi gabah pada Maret 8,89 juta ton dan April 6,24 juta ton gabah kering giling (GKG).
Maknanya, dampak El Nino belum tergambar signifikan pada musim panen 2023 tersebut. Apalagi harga eceran beras pada Maret-April 2023 cukup stabil pada level sekitar Rp 13.400 per kilogram. Sejak akhir Juni 2023, harga beras merangkak naik ke Rp 13.650 per kilogram dan bertahan Rp 13.550 per kilogram pada awal Agustus 2023.
Sementara itu, rencana impor beras oleh Perum Bulog sebanyak 2 juta ton hingga awal Agustus 2023 baru terealisasi 1,15 juta ton. Bulog mulai kesulitan mencari beras setelah India melarang ekspor beras untuk mengamankan stok beras domestiknya. Keputusan ekstrem India melarang ekspor itu telah mengacaukan harga beras internasional. Harga rata-rata beras global telah naik drastis dari 514 dollar AS per ton pada Juni 2023 menjadi 547 dollar AS per ton pada Juli 2023 untuk kualitas Thai 5 persen broken. Bahkan, harga jual beras di Thailand dan Vietnam naik sekitar 50 dollar AS per ton. Suatu kenaikan yang amat signifikan pada musim kering El Nino seperti sekarang ini.
Laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) bulan Juli 2023 menunjukkan bahwa produksi beras dunia diperkirakan turun dari 513,7 juta ton tahun 2022 ke 512,5 juta ton tahun 2023 karena fenomena El Nino. Pada periode yang sama produksi beras India naik dari 129,5 juta ton menjadi 136 juta ton, Thailand dari 19,9 juta ton menjadi 20,2 juta ton, Vietnam dari 26,7 juta ton menjadi 27 juta ton. Sementara produksi China turun dari 149 juta ton menjadi 146 juta ton, Myanmar turun dari 12,4 juta ton menjadi 11,8 juta ton, Pakistan turun dari 9,3 juta ton menjadi 5,5 juta ton, dan lain-lain. USDA juga memprakirakan produksi beras Indonesia turun 1,16 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan penurunan sebesar 2,13 persen oleh BPS.
Dalam konteks manajemen neraca beras, sisa kuota impor beras hampir 900.000 ton itu masih harus dipenuhi Bulog sebelum akhir 2023, selain tugas pengadaan gabah dan beras dari petani domestik. Total pengadaan beras Bulog dari pasar dalam negeri hingga awal Agustus 2023 tercatat 771.000 ton. Sejumlah 672.000 ton beras telah disalurkan untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP), termasuk untuk bantuan pangan sebanyak 640.000 ton, penyaluran golongan anggaran 42.000 ton, tanggap darurat sebanyak 2.000 ton, dan lain-lain. Total stok beras per 4 Agustus 2023 tercatat 854.000 ton, terdiri dari cadangan beras pemerintah (CBP) 795.000 ton dan 59.000 ton stok komersial. Posisi ini akan terus dipantau para pedagang beras, termasuk para spekulan yang berusaha mengambil rente ekonomi.
Pada kondisi kritis sekarang, Perum Bulog perlu lebih taktis dalam manajemen stok dan pengadaan dalam negeri. Ketertinggalan melakukan pengadaan beras dalam negeri pada musim panen raya yang lalu—setidaknya dibandingkan dengan sektor swasta besar lain—tidak harus dikompensasi dengan memaksakan pengadaan pada musim kering dan fenomena El Nino seperti sekarang. Jika hal tersebut dilakukan, harga beras dikhawatirkan naik lebih liar lagi sehingga dapat membawa dampak sosial-ekonomi yang sangat signifikan, apalagi di tahun politik.
Strategi produksi dan rantai nilai
Fenomena El Nino sudah terjadi sehingga tidak perlu disangkal atau dicarikan alasan untuk membantahnya. Strategi mitigasi untuk mempercepat tanam, memanfaatkan lahan rawa, dan mengusahakan sumur bor dan pemompaan di beberapa sentra produksi wajib terus dilakukan dan dipantau secara ketat. Oleh karena itu, dukungan produksi kepada petani, mulai dari ketersediaan benih hingga pupuk subsidi pada tahun 2023 tidak boleh kendur. Apalagi, tahun depan, pemerintah berencana mengubah subsidi pupuk menjadi bantuan pupuk langsung kepada petani (BLP), yang memerlukan sosialisasi dan pendampingan secara khusus.
Beberapa studi akademik dan model keseimbangan umum telah meramalkan bahwa perubahan iklim akan menurunkan produksi pangan 8-10 persen pada 2030 jika tak ada respons kebijakan atau strategi adaptasi yang dilakukan. Mulai sekarang hingga beberapa tahun ke depan, pemerintah wajib berada di garda terdepan untuk membimbing petani dalam mengembangkan benih padi dan pangan lain yang tahan kekeringan atau lebih adaptif terhadap perubahan iklim ekstrem El Nino dan musim hujan La Nina basah yang berlebihan. Dalam konteks distribusi pangan, perbaikan digitalisasi rantai nilai seharusnya mampu menanggulangi persoalan lambannya aliran informasi dan dukungan transaksi untuk bergerak bersama menghadapi El Nino atau perubahan iklim ekstrem yang kian kerap terjadi.
Di tingkat mikro, pemerintah bersama sektor swasta dan masyarakat perlu melakukan langkah khusus, misalnya penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih jika kekeringan ekstrem melanda rumah tangga, khususnya para petani pangan. Pada kondisi tertentu, beberapa kriteria perlu ditetapkan, terutama untuk memberikan diskresi bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah strategis dan taktis tanpa harus menunggu komando atau status bencana nasional dan lain-lain.
Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketum Perhepi
Leave a comment