Feeds:
Posts
Comments

Target SDGs “Tanpa Kelaparan” Sulit Tercapai

Bustanul Arifin

Kompas, 18 Desember 2023

Target nomor dua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs ”tanpa kelaparan” pada 2030 tampaknya sulit tercapai, baik di tingkat global maupun nasional. Terlalu banyak hambatan yang menghalangi upaya pencapaian target sangat penting tersebut. Pandemi Covid-19 menjadi penyebab krisis ekonomi, krisis pangan dan energi global, apalagi faktor perubahan iklim, geopolitik dan geospasial telah memperumit keadaan.

Target nomor dua ”tanpa kelaparan” memiliki banyak komponen strategis: akses pangan, gizi kurang (malnutrition), produksi pangan, sistem produksi berkelanjutan, investasi dan pertanian, dan volatilitas harga.

Komitmen global

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada September 2023 menyebutkan, target zero hunger terasa semakin jauh. Lebih dari 600 juta penduduk global diproyeksi akan menderita kelaparan pada 2039 atau satu dari tiga orang akan menghadapi ketidaktahanan pangan (food insecurity). Sekitar 3 miliar penduduk global tidak mampu memenuhi pangan sehat (healthy diet) sehingga target perbaikan akses pangan sulit tercapai.

Studi International Food Policy Research Institute (IFPRI) mencatat, pada 2023 terdapat 148 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) menderita tengkes (stunting), 45 juta anak menderita kurus (wasting), dan 37 juta menderita kegemukan. Studi itu menyebutkan, tak ada kemajuan sama sekali dalam penurunan anemia pada wanita rentang umur 15-40 tahun sehingga target penanggulangan gizi kurang sulit tercapai.

Angka prevalensi kurang gizi tingkat global memang kian membaik. Namun, prevalensi anemia pada wanita stagnan di angka 30 persen sehingga perlu upaya khusus mempercepat penanggulangan gizi kurang, baik di tingkat global, negara, maupun komunitas lokal.

Tiga komitmen global untuk mencapai target nomor dua SDGs bisa diikhtisarkan sebagai berikut.

Pertama, peningkatan investasi infrastruktur perdesaan, penelitian dan pengembangan (R&D) pertanian dan penyuluhan pertanian. Komitmen ini telah dilakukan. Anggaran R&D dan dukungan pertanian mulai meningkat walau masih terlalu kecil untuk melaksanakan intensifikasi berkelanjutan, khususnya di negara berkembang. Total anggaran 800 miliar dollar AS per tahun di tingkat global untuk subsidi pertanian cenderung menciptakan distorsi baru, bahkan agak jauh dari pencapaian target nomor dua SDGs.

Kedua, pengurangan hambatan dan distorsi perdagangan pada pasar produk pertanian. Fakta lapangan, hambatan perdagangan dan perlindungan harga di banyak negara justru menjadi penyebab kenaikan dan volatilitas harga pangan global. Kebijakan larangan ekspor beras oleh India berdampak pada kenaikan harga beras global, hingga melampaui 600 dollar AS per ton, rekor tertinggi setelah krisis pangan 2008. Indonesia terkena dampak buruk strategi diplomasi negatif India karena harga beras rata-rata di pasar domestik telah melampaui Rp 14.600 per kilogram, rekor psikologis, apalagi di tengah suasana politik dan perubahan iklim.

Ketiga, peredaman volatilitas harga pangan melalui sistem pasar komoditas pangan yang lebih beradab, fasilitasi akses informasi pasar secara cepat, termasuk cadangan pangan. Sistem Informasi Harga Pertanian (AMIS) yang dikembangkan G20 sebenarnya membantu memperbaiki informasi dan transparansi pasar pangan di tingkat global.

Akan tetapi, volatilitas harga pangan tetap tinggi, bahkan cenderung meningkat melebihi tren yang terjadi 10 tahun terakhir. Tak ada suatu upaya bersama yang terintegrasi untuk mengelola cadangan pangan pokok, bahkan untuk tingkat Asia Tenggara (ASEAN) sekalipun.  Data cadangan pangan tidak lengkap, bahkan isu cadangan pangan pemerintah (public stock holdings) terus mewarnai perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Target SDGs Indonesia

Di Indonesia, ketahanan pangan masih sering dipersepsikan sempit sebagai swasembada pangan, atau lebih sempit lagi swasembada padi, jagung, dan kedelai (pajale). Dalam konteks target nomor 2 SDGs, komitmen yang dicanangkan Indonesia adalah ketahanan pangan dan gizi, setidaknya perbaikan kualitas pangan yang beragam, bergizi, sehat, dan aman (B2SA). Namun, status ketahanan pangan Indonesia menurut Global Food Security Index (GFSI) 2022 masih di urutan ke-63 dari 113 negara, jauh di bawah Singapura (28), Malaysia (41), dan Vietnam (46).

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pencapaian kinerja target nomor dua SDGs Indonesia. Misalnya, prevalensi penduduk rawan pangan sedang atau berat tahun 2022 masih 4,85 persen, dengan variasi lebar, dari 2,87 persen di Yogyakarta hingga 10,31 persen di Papua Barat.  Kita menghadapi persoalan serius beban gizi ganda (double burden malnutrition /DBM). Fenomena gizi kurang dan gizi lebih terjadi bersamaan, sebagai manifestasi perubahan sistem pangan, yang mengarah ke pangan olahan tak sehat dan supermurah. Masyarakat cenderung mengurangi aktivitas di kantor, rumah, dan jalan karena perubahan teknologi yang memanjakan tubuh, tanpa harus bergerak.

Jurnal bergengsi bidang kesehatan masyarakat The Lancet (2020) menyebutkan, Indonesia paling banyak mengalami DBM. Nyaris seluruh provinsi menderita anak balita tengkes dan dewasa 18 tahun gemuk. Bahkan, sekitar 68 persen penduduk tak mampu mengakses pangan sehat bergizi (Kompas, 9/12/2022).  Laporan the Economist Intelligence Unit tahun 2022 mencatat skor diversifikasi pangan Indonesia hanya 16,4 (pada skala 0-100) atau terendah di ASEAN, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia (55,3), Thailand (47,8), dan Vietnam (37,3).  

Menurut studi Herforth dkk (2022), harga rata-rata pangan sehat di Indonesia paling mahal, mencapai Rp 68.713 per hari, lebih tinggi dari di Thailand (Rp 66.407), Filipina (Rp 63.179), dan di Malaysia (Rp 54.417).  Amanat Konstitusi bahwa ”pangan adalah hak asasi manusia sehingga kelaparan tidak dapat ditoleransi” masih jauh dari kenyataan. Permasalahan tengkes bersifat multidimensional, tidak hanya kemiskinan dan akses pangan, tetapi juga pola asuh dan pemberian makan pada anak balita.

Berikut rekomendasi dan perubahan kebijakan yang perlu diambil pemerintah atau para calon pemimpin bangsa yang berkontestasi di Pemilu 2024.

Pertama, pembangunan sistem pangan dan pertanian yang berdaya saing dan inovatif, alokasi anggaran R&D yang memadai untuk mengembangkan ekosistem inovasi melalui sinergi dan kemitraan pemerintah, dunia usaha, akademik, dan masyarakat madani.

Kedua, pengembangan pangan beragam, bergizi, sehat, aman (B2SA), dan terjangkau, mendorong diversifikasi, pangan fungsional berbasis potensi dan kearifan pangan lokal, kerja sama antardaerah (KAD), untuk mencapai kemandirian pangan secara bermartabat.

Ketiga, penguatan sistem dan manajemen cadangan pangan di pusat, daerah, dan masyarakat melalui pemberdayaan UMKM dan koperasi, skema kemitraan UMKM dengan usaha besar yang lebih beradab dan menguntungkan.

Keempat, pendampingan petani dalam manajemen usaha tani, intensifikasi yang lebih berkelanjutan, pertanian presisi, digitalisasi rantai nilai, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, rekayasa sosial dan kelembagaan, serta integrasi pengembangan manusia pertanian untuk meningkatkan inklusivitas dan kesejahteraan petani.

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF

Tantangan Berat Ekonomi Beras 2024

Bustanul Arifin Guru

Media Indonesia, 15 Desember 2023,

Tantangan ekonomi beras Indonesia tahun 2024 amatlah berat, mungkin setara dengan tantangan serupa saat krisis ekonomi dan krisis politik yang menjatuhkan Presiden Soeharto pada 1998. Kekeringan ekstrem El Nino yang melanda hampir seluruh sentra produksi di Indonesia telah berdampak sangat buruk pada sistem produksi beras. Beberapa dimensi penting ekonomi saling berhubungan sehingga jika salah satu dimensi bermasalah, dimensi lain seakan saling mengunci.

Artikel ini menganalisis tantangan ekonomi beras melalui penjelasan rinci empat dimensi penting, yaitu produksi, harga, perdagangan internasional, dan manajemen stok. Penutup artikel ini ialah rekomendasi perubahan kebijakan sistem produksi beras ke depan.  

Empat dimensi penting

Pertama, estimasi produksi beras 2023 turun lebih dari 1 juta ton, terutama karena kekeringan ekstrem El Nino. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode kerangka sampel area (KSA) menunjukkan bahwa produksi turun dari 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2022 menjadi 53,51 juta ton GKG pada 2023 atau turun 2,26%. Jika dikonversi dalam bentuk beras, produksi turun dari 31,53 juta ton pada 2022 menjadi 30,81 juta ton pada 2023 atau turun 2,28%.

Akibat El Nino, musim tanam padi mundur menjadi November-Desember sehingga musim panen raya juga diperkirakan mundur menjadi April 2024. Hampir seluruh sentra produksi padi di Indonesia mengalami penurunan karena luas panen turun signifikan, kecuali di Lampung, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah. Daerah-daerah itu umumnya memanfaatkan lahan kering, lahan rawa, dan sumber-sumber air swadaya.

Kedua, harga beras merangkak naik sejak awal 2023 hingga bertahan tinggi melebihi Rp14.000/kg pada awal Desember 2023. Harga beras yang tinggi ini memperlambat upaya penurunan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem yang menjadi target pemerintah. Selain karena rendahnya produksi, kenaikan harga beras berhubungan dengan berubahnya sistem produksi beras di lapangan.

Sektor swasta besar semakin agresif melakukan pembelian gabah petani serta menjalin kemitraan dengan pengepul dan petani padi. Perubahan ini mengejutkan banyak pihak, baik petani, pedagang, Bulog, maupun pemerintah pusat dan daerah. Semua pihak seakan tidak siap menghadapi persaingan pasar beras yang semakin kompetitf ini karena selama ini terbiasa dipimpin oleh pemerintah dan Bulog.

Harga gabah merangkak naik dari Rp5.000/kg (setingkat harga pembelian pemerintah/ HPP) menjadi Rp6.000/kg, lalu Rp7.000/kg, dan masih akan lebih tinggi lagi. Akibatnya, harga beras rata-rata juga terdorong naik ke atas, dari Rp12.000/kg ke Rp13.000/kg, dan sekarang di atas 14.000/kg, rekor harga tertinggi selama beberapa tahun terakhir. Penggilingan padi skala kecil banyak yang kesulitan memperoleh gabah sehingga berhenti beroperasi, bahkan gulung tikar.

Ketiga, perdagangan beras global semakin tidak sehat, terutama dipicu oleh tingkah laku India yang melarang ekspor beras untuk tujuan politik dalam negerinya. Harga beras global langsung bergolak dan mencapai sekitar US$630/ton.  Dampak menipisnya stok perdagangan beras global ialah kenaikan harga di beberapa negara new rice consumers sangat liar. Misalnya, kenaikan harga di Uzbekistan hampir dua kali lipat, di Tanzania naik 45%, di Haiti naik 40%, di Mali naik 25%, dan lain-lain. Singkatnya, arus perdagangan beras menghadapi masalah serius karena perdagangan yang tidak fair, di samping persoalan struktur pasar, isu mikro bisnis, persaingan branding, dll.

Hal yang cukup menarik ialah hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI, 2023) yang memuat bahwa dampak El Nino terhadap produksi beras lebih buruk di Asia Tenggara daripada di Asia Selatan. Produksi beras di India, Pakistan, dan Bangladesh masih cukup normal, hanya sedikit yang terkena dampak El Nino 2023. Bahkan, Tiongkok akhirnya ‘terpaksa’ mulai mengekspor beras karena permintaan impor beras tumbuh tinggi, termasuk dari Indonesia. Selama ini, Tiongkok menganggap lebih efisien mengimpor beras dan mengelola cadangan pangan domestiknya sangat ketat, mengingat jumlah penduduk yang telah melampauai 1,4 miliar jiwa.

Keempat, Perum Bulog tidak banyak mampu mengontrol atau menguasai harga gabah karena hubungan dengan mitra pedagang dan penggilingan padi tidak sebaik zaman dulu. Saat ini pasar gabah semakin kompetitif, bahkan semakin sulit menjumpai struktur pasar oligopsoni murni. Faktor non-ekonomi, seperti kedekatan hubungan tengkulak dengan petani, kolaborasi khusus dengan mitar dagang, dll tampak lebih dominan dalam skema pembelian gabah petani. Total pengadaan beras dalam negeri Bulog hingga November 2023 sekitar 960 ribu ton, sangat jauh jika dibandingkan dengan pengadaan luar negeri atau impor beras yang mencapai 2,6 juta ton.

Di sektor hillir pun fenomena penguasaan pasar oleh Perum Bulog tidak jauh berbeda. Walaupun impor beras tahun 2023 telah melampaui 2,5 juta ton, harga eceran beras belum juga turun. Tingginya harga eceran beras di tengah guyuran impor begitu besar telah menyisakan tantangan tersendiri karena pola kenaikan harga beras masih diselimuti banyak faktor stokastik, yang dapat berdampak buruk di masa depan.  

Rekomendasi perubahan kebijakan

Berikut ialah rekomendasi perubahan kebijakan yang harus dilakukan pemerintah dan para pengampu kepentingan ekonomi beras, setidaknya dalam jangka pendek ke depan.

Pertama, percepatan tanam, pemanfaatan lahan rawa, penggunaan varietas baru tahan kekeringan seperti Inpari 42, Inpari 43, dan Inpari 44 perlu disebarluaskan dan dikawal ketat. Varietas baru ini mensyaratkan pemupukan yang tepat waktu dan praktik pertanian yang baik (GAP) yang cukup intensif. Sekali lengah melakukan pengawalan, maka manfaat peningkatan produksi dan produktivitas dari teknologi baru itu sulit direalisasi.

Kedua, dialog lebih terbuka dengan industri beras swasta besar, bukan dengan strategi koersif yang justru dapat berdampak lebih buruk. Dialog terbuka dan pendekatan bisnis biasa akan menghasilkan titik temu dan kesepahaman antara Perum Bulog dan swasta besar, serta pengampu kepentingan lainnya, setidaknya tentang formula bermitra bisnis dengan petani padi. Di sisi lain, kenaikan harga gabah di tingkat petani perlu dijadikan momentum untuk mengajak petani meningkatkan kualitas produksi beras hingga mencapai mutu beras premium dll.

Ketiga, diplomasi ekonomi dan kerja sama ekonomi perdagangan dapat memperbaiki iklim perdagangan beras global, apalagi kini semakin banyak negara menjadi rice consumer. Bagi Indonesia, sikap India yang tetap berkukuh dengan larangan ekspor beras tidak perlu diikuti dengan tindakan retaliasi dagang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan lain-lain. Manfaat diplomasi yang diharapkan ialah bahwa India tidak menjadi trouble maker dalam iklim perdagangan beras global. Indonesia akan berjasa besar jika berhasil mencapai hal ini.

Keempat, reformasi menyeluruh dan penyempurnaan sistem kemitraan Bulog dengan para mitra dan unit penggilingan gabah dan beras (UPGB), yang pernah menjadi andalan Bulog dalam penyerapan gabah petani. Insentif perlu dirancang kembali agar menghasilkan sistem kemitraan saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Ketahanan pangan nasional sering dimulai dari suatu perbaikan hubungan usaha yang bersifat mikro lapangan.

Prof Dr Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Ekonom INDEF, Ketua Umum PERHEPI

Ekonomi Berbasis Sawit 2024

Bustanul Arifin

Bisnis Indonesia, 6 Desember 2023

            Kinerja ekonomi berbasis sawit pada 2023 masih penuh drama, walau tidak sedahsyat fenomena larangan ekspor minyak sawit metah (CPO) dan turunannya pada 2022. Masih segar dalam ingatan bahwa larangan ekspor CPO sekitar Ramadhan 2022 itu telah membuat harga tandan buah segar (TBS) anjlok hingga di bawa Rp 1.000/kg. Kekeringan ekstrem El-Nino 2023 sebenarnya tidak banyak berdampak pada kinerja produksi CPO. Produksi CPO 2023 diperkirakan 48,6 juta ton, minyak biji sawit (PKO) 4,6 juta ton, sehingga total produksi kelapa sawit 53,2 juta ton atau naik 3,81 persen dari total produksi 51,2 juta ton pada 2023.

Drama ekonomi sawit diawali ketika Uni Eropa (UE) kembali menuduh sawit Indonesia menjadi penyebab deforestasi, melalui perubahan tataguna lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change-ILUC). Indonesia mengajukan gugatan tindakan diskriminatif kepada Badan Penyelesaian Sengketa (DSB= Dispute Settlement Body) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Keputusan akhir hasil gugatan tersebut seharusnya diumumkan pada Desember 2023 ini.

Di dalam negeri, Pemerintah merespon tuduhan UE tentang ILUC dengan melakukan koreksi kebijakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 9/2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tatakelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Satgas bertugas menyelesaikan isu legalitas lahan sawit di dalam kawasan hutan. Dunia usaha dan petani sawit sama-sama menghadapi ketidakpastian hukum tentang implementasi atau tindakan koersif untuk menyelesaikan kasus tumpang tindih dan “keterlanjuran” tataguna lahan sawit.

            Artikel ini menganalisis prospek ekonomi berbasis sawit pada 2024 dengan berbasis pada dinamika lingkungan bisnis dan politik, serta faktor geostrategi dan perubahan ekonomi global. Penutup artikel ini adalah strategi bisnis dan kebijakan yang perlu diambil untuk menghadapi tahun 2024 di tengah perubahan politik.

Kinerja Produksi dan Konsumsi

Produksi minyak sawit Indonesia banyak ditentukan kinerja kebun dan industri sawit di Sumatera dan Kalimantan. Produksi sawit di Sulawesi dan Papua masih terbatas karena baru “belajar”, yang mungkin berperan penting 10 tahun mendatang. Kekeringan ekstrem El-Nino berpengaruh pada presipitasi uap air di Sumatera dan Kalimantan, sehingga siklus produksi  bergeser. Puncak produksi biasanya pada bulan Agustus-September, kini bergeser ke April-Mei.

Produktivitas rata-rata TBS pada 2023 turun hingga 15 ton/ha. Produktivitas perkebunan besar 18 ton/ha, sedangkan sawit rakyat, hanya 11 ton/ha.  Dunia usaha dan Pemerintah sama-sama memiliki kewajiban untuk meningkatkan produktivitas TBS, setidaknya mendekati potensi produktivitas 30 ton/ha. Jika berhasil, maka peningkatan produksi sawit tidak harus melakukan ekspansi kebun, apalagi jika menyebabkan kerusakan hutan.

            Konsumsi minyak sawit domestik 2023 diperkirakan naik lebih 10 persen, terutama untuk biodiesel 10,6 juta ton, pangan 10,4 juta ton dan oleokimia 2,3 juta ton. Kenaikan ini karena intensitas implementasi kebijakan transisi energi ke arah energi baru dan terbarukan, target B-30 dan B-35 sektor industri dan transportasi. Konsumsi CPO untuk minyak goreng naik 5 persen, dan diharapkan tidak terdapat lonjakan harga eceran.

Lembaga Oil World (November 2023) memprakirakan pertumbuhan produksi minyak nabati global melambat 4,2 juta ton pada 2024.  Stok minyak nabati hingga Oktober 2023 masih diliputi ketidakpastian permintaan global pada awal tahun 2024. Prospek industri sawit diperkirakan akan sedikit cerah pada akhir 2024, karena produksi minyak kedelai dunia akan melandai dan harga CPO membaik.

Prospek industri berbasis sawit 2024 dapat diikhtisarkan sebagai berikut. Produksi sawit (CPO dan PKO) tumbuh 5 persen, hingga mencapai 56 juta ton. Konsumsi minyak sawit juga naik tinggi 9 persen dan mencapai 25 juta ton, karena alokasi konsumsi minyak goreng dan biofuel terus tumbuh. Akan tetapi, kinerja ekspor 2024 akan turun, terutama ekspor ke UE, mengingat persyaratan keberlanjutan semakin rumit. Pelaku industri sawit dan Pemerintah perlu mewaspadai peningkatan stok sawit 5 juta ton, karena penurunan harga telah di depan mata.

Ekspor dan Diamika Harga

Ekspor minyak sawit pada 2023 diperkirakan turun 3,5 persen, karena ekspor CPO turun dari 3,5 juta ton tahun 2022 menjadi 2 juta ton. Produk sawit hasil refinery naik menjadi 21,8 juta ton dan oleokimia naik menjadi 4,8 juta ton.  Ekspor CPO ke UE turun signifikan, terutama setelah kebijakan RED II seperti dijelaskan sebelumnya.

Walaupun ekspor sawit Indonesia ke EU hanya 12 persen, tapi pasar UE sering dijadikan benchmark oleh banyak negara tentang standar keberlanjutan pengelolaan industri sawit. Pangsa ekspor sawit Indonesia terbesar ditempati China 18,7 persen, India 16,3 persen, Pakistan 8,3 persen, Amerika Serikat 6,7 persen, Afrika 9,4 persen dan Timur Tengah 4,3 persen. Pencaraian pasar baru di Asia Tengah dan Amerika Latin dapat menjadi alternatif baru pengembangan ekspor sawit ke depan.

Harga CPO di pasar dunia terus turun hingga menyentuh US$ 804,3/ton dan harga PKO turun terus hingga US$ 912,4/ton. Harga CPO mencapai rekor tertinggi pada Maret 2022 sebesar US$ 1,777/ton karena minyak bumi global juga sedang tinggi menyentuh US$ 112,4/barrel. Setelah kondisi global mulai agak reda dan persaingan dengan minyak nabati lain tidak terlalu ketat, harga CPO dan PKO perlahan mulai menurun.

Commodity Market Outlook yang dirilis Bank Dunia (November 2023) memprakirakan bahwa harga CPO pada 2024 terus turun hingga US$ 900/kg karena stok global cukup besar. Penurunan harga minyak bumi global hingga US$ 84/ton tahun 2023 dan US$ 81/ton tahun 2024 menjadi salah satu determinan penting pada turunnya harga CPO global. Bahkan, Bank Dunia memprakirakan penurunan harga CPO lebih rendah hingga US$ 850/ton pada tahun 2025.

Sebagai penutup, pelaku industri sawit dan pekebun rakyat perlu terus berusaha meningkatkan produktivitas sebagai prioritas rencana aksi. Target peremajaan sawit, baik secara mandiri, maupun melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR) perlu digenjot lebih keras pada 2024.  Pembenahan harus dimulai dari hulu, melalui penyediaan bibit sawit bermutu bersertifikat, bukan bibit asalan, yang diperoleh dari “jalanan” atau hasil perbanyakan sendiri. Dinas perkebunan seluruh Indonesia harus memberikan pendampingan kepada petani sawit swadaya dan petani mitra untuk meningkatan produktivitas kebun sawit.

Pemerintah dan dunia usaha perlu bahu-membahu untuk menggencarkan promosi “sawit baik” adalah investasi masa depan. Promosi dan diplomasi sawit jangan dianggap sebagai kegiatan cost center, apalagi nilai ekonomi berbasis sawit lebih Rp 1.500 triliun. Selain menempuh jalur hukum di DSB-WTO, Indonesia perlu memanfaatkan kerjasama ekonomi seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE CEPA) sebagai benchmark penting untuk membangun diplomasi “sawit baik”.

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Ekonom INDEF, Ketua Umum PERHEPI

Sinkronisasi Data pada Bantuan Pupuk Langsung kepada Petani (BLP)

Bustanul Arifin

Media Indonesia, 1 Desember 2023

Pemerintah sedang mengubah desain subsidi pupuk, dari format subsidi harga menjadi bantuan langsung pupuk kepada petani (BLP) yang berhak. Perubahan desain dianggap radikal karena pada desain lama, kelangkaan pupuk masih sering dijumpai, apalagi pada musim tanam, periode yang amat krusial bagi pertumbuhan tanaman.

Kenaikan anggaran subsidi pupuk 4,12% dari Rp16,9 triliun pada 2012 menjadi Rp25,3 triliun pada 2023 tidak diikuti kenaikan produktivitas padi. Pada periode yang sama 10 tahun terakhir, produktivitas padi hanya naik 2,31% dari 4,17 ton/ha pada 2022 menjadi 5,24 ton/ha pada 2023. Bahkan, selama empat tahun terakhir, produktivitas padi nyaris stagnan pada kisaran 5,20–5,24 ton/ha.

Pada skema BLP, bantuan uang akan ditransfer langsung ke dompet elektronik (e-wallet) petani sesuai dengan nomor induk kependudukan (NIK) berdasarkan kriteria kelayakan. Uang petani dalam e-wallet hanya dapat digunakan untuk membeli pupuk di kios yang ditunjuk, bukan membeli kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, akurasi data petani penerima BLP, berikut karakteristik usahatani dan kebutuhan pupuk, serta kesiapan ketersediaan dan kios eceran pupuk menjadi determinan penting dari pelaksaan BNP ini kelak. Lokasi pilot project BLP ialah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), lalu kemudian di Kalimantan Selatan (Kalsel). Kementerian Pertanian akan menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) pada implementasi BLP kepada petani kelak pada 2024.

Artikel ini menganalisis upaya sinkronisasi data petani penerima bantuan langsung pupuk kepada petani (BLP) yang ada dalam Sistem Penyuluhan Pertanian (Simluhtan), dengan data terbaru hasil Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) 2022. Rekomendasi kebijakan ialah panduan dalam upaya integrasi dan pemadanan data penting tersebut.  

Petani penerima bantuan langsung pupuk

Kriteria penerima bantuan langsung tunai pupuk kepada petani (BLP), yaitu petani kecil untuk meningkatkan daya beli, guna mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanamannya. Petani kecil ini umumnya miskin dan cukup rentan terhadap guncangan internal dan eksternal dari sistem produksi tanaman. Para petani ini umumnya menguasai sepetak kecil lahan pertanian, mengelola pertanian mereka secara manual, menggunakan teknologi tradisional, dan mengandalkan tenaga kerja keluarga, termasuk tenaga kerja perempuan.

Jumlah rumah tangga petani Indonesia meningkat dari 26.132.469 rumah tangga petani pada Sensus Pertanian (ST) 2013, dan meningkat menjadi 27.682.117 pada Surveri Antar-Sensus 2018. Hasil Sutas 2018 juga menunjukkan jumlah petani 33,49 juta jiwa, terdiri dari 25,44 juta laki-laki (75,96%) dan 8,05 juta perempuan (24,04%). Mayoritas petani berusia di atas 45 tahun atau lebih dari 60% dari total, sedangkan 40% sisanya ialah petani muda berusia 44 tahun atau lebih muda.  

Menurut survei ubinan khusus oleh BPS pada 2021, estimasi kebutuhan pupuk urea sebesar 2,50 juta ton dan pupuk NPK sebesar 1,54 juta ton untuk tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai). Rata-rata luas penguasaan lahan petani padi sawah kurang dari satu hektare (ha), lebih tepatnya, yaitu 0,66 ha, petani padi gogo 0,07 ha, petani jagung 0,55 ha, dan petani kedelai 0,27 ha. Penerima BLP harus menjadi anggota kelompok tani (Kelompok Tani) dan/atau asosiasi sebagai kelompok tani (Gapoktan), dan idealnya terdaftar dalam database Daftar Sosial Ekonomi (Regsosek) 2022.

Menurut survei ubinan khusus 2021, 71,57% padi sawah menjadi anggota kelompok tani dan 28,43% bukan anggota, sedangkan sekitar 64,13% petani dataran tinggi menjadi anggota kelompok tani dan 35,87% bukan anggota kelompok tani. Relevansi keanggotaan kelompok tani merupakan salah satu syarat BLP untuk memperkukuh kekompakan organisasi kelompok tani, dalam hal yang berkaitan dengan penggunaan pupuk dan input serta strategi pembangunan pertanian pada umumnya.

Pembahasan kriteria petani penerima bantuan langsung pupuk, sinkronisasi dengan hasil registrasi sosial ekonomi (Regsosek) menjadi sangat krusial. Sumber data lain yang tersedia sebenarnya cukup lengkap, mulai data pada Sistem Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) yang dikelola Kementerian Pertanian, yang konon telah terintegrasi dengan data registrasi kependudukan dalam bentuk nomor induk kependudukan (NIK).

Demikian, sistem data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dikelola Kementerian Sosial juga terintegrasi dengan NIK, walau tidak terintegrasi dengan Simluhtan. Data pada Sistem Program Percepatan Penurunan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) juga sedang diintegrasikan dengan Simluhtan, walau secara operasional masih perlu terus dipertajam.

Petani penerima BLP mengacu pada Pasal 69 dan penjelasan Pasal 27 UU 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, yang menyatakan bahwa pekebun adalah petani yang penghasilan rumah tangganya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Petani kecil ini akan mendapatkan bantuan atau subsidi pupuk dari pemerintah pusat atau provinsi.

Pengertian petani rakyat dalam penjelasan Pasal 62 UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian secara Lebih Lestari (PLP2B), ialah petani yang menguasai lahan pertanian seluas 0,5 ha atau kurang. Perlu dicatat bahwa nilai pendapatan pertanian dari tanaman pangan lebih rendah secara signifikan dari hortikultura.

Hortikultura merupakan tanaman bernilai ekonomi tinggi sehingga rata-rata dan potensi pendapatan petani umumnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman pangan dan perkebunan. Batas penguasaan lahan seluas 2 ha atau kurang dapat diterapkan untuk tanaman pangan dan perkebunan, sedangkan penguasaan lahan seluas kurang dari 0,5 ha dapat diterapkan untuk hortikultura.  

Sinkronisasi dengan status sosial ekonomi petani

Data petani penerima BLP perlu disinkronisasi dengan hasil Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), yang disusun berdasarkan hasil proxy mean test (PMT) ranking pendapatan tahunan petani desil tertentu. Mengacu pada klasifikasi kemiskinan ekstrem berdasarkan paritas daya beli (PPP = purchasing power parity) Bank Dunia US$2,15 per hari, batas petani kecil ialah bagi mereka yang memiliki pendapatan tahunan sebesar Rp11,8 juta. Sebagai alternatif, penerima BLP ialah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan nasional karena titik potong (cut-off point) petani kecil ialah mereka yang berpenghasilan Rp18,8 juta per tahun. Hasil pemadanan data TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penurunan Kemiskinan) tentang jenis pekerjaan petani Simluhtan dengan Program Percepatan Penurunan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) menunjukkan 6,4 juta petani Indonesia termasuk kategori miskin ekstrem, disusul pekerja lepas (1,5 juta), wiraswasta (1,4 juta), tidak/belum bekerja, dll.

Demikian hasil pemadanan data DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial) dan P3KE menunjukkan hal berikut: terdapat 62 juta individu (56% dari total 110,6 juta) dalam DTKS ternyata padan dengan individu P3KE. Untuk data keluarga terdapat 20,2 juta pada DTKS (69,5%) dari total 29,14 juta keluarga) telah padan dengan data keluarga P3KE.  

Rekomendasi kebijakan

Berikut rekomendasi perubahan kebijakan yang dapat ditawarkan: Pertama, implementasi Sistem Rekan (e-pubers) yang dikembangkan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) digunakan sebagai sistem penebusan pupuk subsidi sesuai yang terdaftar di dalam e-Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok ke kios pupuk lengkap (KPL). Itulah indikator awal kebekerjaan sistem digitalitasi dari subsisdi pupuk dalam skema BLP. Keandalan Sistem Rekan itu mampu memfasilitasi kebutuhan pupuk petani di lapangan.

Kedua, fokus sinkronisasi dan integrasi data petani penerima BLP dengan data Regsosek, akan menjadi contoh atau praktik terbaik dalam perubahan desain subsidi barang menjadi subsidi kepada kelompok sararan. Sebaliknya, ketidakberhasilan sinkronisasi dan integrasi data pada provinsi pilot, akan menjadi ganjalan atau hambatan keberhasilan program pembangunan umum.

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Ekonom Senior Indef, Ketua Umm PERHEPI

Menuju Satu Harga Pupuk Nasional

Bustanul Arifin

Republika, 9 September 2023

Saat ini pemerintah merancang perubahan kebijakan subsidi pupuk menjadi kebijakan bantuan pupuk langsung (BLP) kepada petani. Perubahan kebijakan ini sebagai upaya mewujudkan subsidi tepat sasaran, sekaligus perubahan subtansi kebijakan subsidi kepada barang (pupuk) menjadi subsisi kepada orang, yaitu petani kecil yang berhak meneriman bantuan langsung.

Pada skema BLP, bantuan uang akan ditransfer langsung ke dompet elektronik (e-wallet) petani sesuai dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) berdasarkan kriteria kelayakan. Uang petani dalam e-wallet hanya dapat digunakan untuk membeli pupuk di kios atau sistem ritel pupuk yang ditunjuk, bukan membeli kebutuhan hidup lainnya.

Konsekuensi penting dari perubahan subsidi pupuk menjadi BLP kepada petani adalah keberadaan sistem satu harga pupuk nasional. Pada desain kebijakan subsidi pupuk yang berlaku saat ini, selisih harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi cukup besar, mencapai tiga kali lipat, yaitu Rp 2.250 per kg versus Rp 8.500 per kg untuk urea dan Rp 2.300 per kg versus Rp 10 ribu per kg untuk NPK.

Disparitas harga tiga kali lipat seperti sekarang cenderung menimbulkan moral hazard di antara para petani, pengampu kepentingan, dan lembaga nonpemerintah lainnya, bahkan menjadi salah satu pemicu kelangkaan pupuk di lapangan.

Artikel ini menganalisis pengembangan konsep satu harga pupuk nasional berbasis mekanisme pasar, dengan membuka opsi satu harga antarkios, satu harga di dalam provinsi, atau bahkan satu harga pupuk nasional, yang berlaku di seluruh Indonesia. Beberapa skenario konsekuensi pada anggaran negara dan besaran uang dalam BLP juga dibahas agak detail. Apa pun skenario yang dipilih, pengembangan satu harga pupuk memerlukan waktu memadai.

Dinamika harga pupuk

Dinamika harga pupuk di pasar domestik dan pasar global sangat fluktuatif dan amat sensitif terhadap gejolak pasar, pandemi Covid-19, dan fenomena perang Rusia-Ukraina yang melanda banyak produsen pupuk di global. Secara umum, harga pasar pupuk terdiri dari biaya produksi, distribusi, dan margin atau keuntungan distributor dan kios pupuk.

Faktor penting dalam penentuan satu harga pupuk sangat bergantung pada efisiensi rantai nilai, khususnya dukungan infrastruktur terhadap penerapan digital penebusan bantuan pupuk langsung oleh petani penerima BLP. Harga pupuk di pasar global masih cukup tinggi, walau terus menunjukkan penurunan sejak awal 2023.

Sejak perang Rusia-Ukraina pada Februari 2021, harga pupuk global meroket hingga mencapai rata-rata 700 dolar AS per ton pada 2022. Bahkan harga pupuk kalium (Muriate of Potassium-MOP) dunia pernah menyentuh harga 1.200 dolar AS per ton, pupuk fosfat (Diammonium Phosphate-DAP) 950 dolar AS per ton, dan urea 925 dolar AS per ton.

Sejak Januari 2023, harga pupuk mulai turun seiring dengan stabilnya pasar komoditas di tingkat global. Harga pupuk urea pada Juni 2023 turun menjadi 287,50 dolar AS per ton. Tetapi pada Juli dan Agustus harga pupuk urea naik lagi ke 334,63 dolar AS per ton dan 385,63 dolar AS per ton, suatu tanda-tanda spesialisasi pasar mulai tercapai (Pasar Komoditas, Bank Dunia, September 2023).

Di dalam negeri, harga eceran pupuk juga mengalami peningkatan. Harga pupuk urea nonsubsidi di tingkat kios PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) pada Juni 2023 di Papua mencapai Rp 14 ribu per kg, di Sulawesi Rp 10.697 per kg, di Kalimantan Rp 9.878 per kg, di Jawa Rp 8.331 per kg, dan Sumatra Rp 9.807 per kg. Sedangkan, harga jual pupuk urea di PIHC Rp 5.950 per kg untuk seluruh Indonesia.

Harga tebus petani untuk pupuk Phonska Plus pada Juni 2023 lebih mahal, yaitu di Papua Rp 16.300 per kg, Sulawesi Rp 15.390 per kg, Kalimantan Rp 14.309 per kg, Jawa Rp 13.292 per kg, dan Sumatra Rp 14.034 per kg. Harga jual pupuk di tingkat PIHC umum lebih rendah, yaitu Rp 10.350 per kg untuk seluruh Indonesia.

Dalam desain kebijakan BLP dan satu harga pupuk nasional, efisiensi rantai nilai pupuk dan daya saing industri pupuk Indonesia menghadapi tantangan baru. Untuk pasar urea, Indonesia melakukan ekspor urea ke pasar dunia, karena rasio produksi terhadap konsumsi urea di Indonesia sebesar 120 persen. Keputusan ekspor urea itu menarik untuk dikaji apakah diputuskan sendiri oleh industri pupuk atau melalui konsultasi kebijakan, setidaknya dengan Kemenko Bidang Perenonomian.

Faktor penting pada pembentukan satu harga pupuk sangat bergantung pada efisiensi rantai nilai, utamanya dukungan infrastruktur bagi aplikasi digital penebusan bantuan langsung pupuk oleh petani penerima BLP. Kapasitas ekspor pabrik urea di Indonesia sedikit lebih rendah dibandingkan kapastias pupuk di China. Rasio rasio produksi terhadap konsumsi urea di China sekitar 125 persen. Rasio produksi terhadap konsumsi urea di Uni Eropa (UE) adalah sekitar 115 persen, sedangkan di Amerika Serikat (AS) sekitar 110 persen.

Konsekuensi pada anggaran negara

Pengembanna satu harga pupuk nasional juga memiliki konsekeunsi pada anggaran negara dan detail besaran subsidi untuk bantun langsung tunai kepada petani (BLP). Oleh karena itu, pada semester II 2023 merupakan masa transisi yang amat krusial, karena pemerintah akan melaksanakan pilot project implementasi BLP di Provinsi Bangka-Belitung, Riau, dan Kalimantan Selatan, di samping Provinsi Aceh sebagai pilot project Kartu Tani Digital.

Di sini, besaran BLP ditentukan oleh baseline awal, yaitu volume pupuk sesuai dengan e-alokasi yang dikeluarkan Kementerian Pertanian. Alokasi volume pupuk juga dapat berubah, sehingga PT PIHC harus mampu menyesuaikan rencana produksi dan distribusi.

Jika harga pupuk sangat berfluktuatif, upaya untuk menjaga “satu harga” memiliki konsekuensi pada besaran BLP dan anggaran negara. Jika total bantuan dalam APBN, nilai bantuan, dan jumlah petani penerima BLP tetap, maka volume pupuk yang perlu dialokasikan harus fleksibel. Kondisi demikian mungkin agak menyulitkan bagi administrasi anggaran negara, yang harus ditentukan sebelum tahun berjalan.

Sebaliknya, jika total bantuan dalam APBN, volume pupuk, dan jumlah petani tetap, maka nilai bantuan di dalam BLP akan fluktuatif. Kondisi demikian pun agak menyulitkan bagi administrasi program BLP, apalagi harus menjangkau seluruh pelosok Indonesia, hingga daerah terluar dan daerah terdepan.

Kondisi ideal bagi petani adalah jika mereka memperoleh kepastian volume pupuk yang akan diterima, nilai bantuan dapat berubah sesuai dengan dinamika harga pupuk di pasar. Akan tetapi, kondisi ini juga agak menyulitkan bagi administrasi BLP, karena total anggaran dapat berfluktuasi sepanjang tahun.

Kondisi ideal bagi administrasi anggaran adalah jika volume pupuk dan anggaran negara ditentukan dari awal alias diputuskan tetap. Akan tetapi, petani tidak memperoleh kepastian nilai subsidi yang mereka akan terima. Skenario lain yang dapat dikembangkan adalah nilai bantuan BLP yang ditransfer kepada e-wallet petani dapat bervariasi dari petani ke petani lain.

Determinan yang menjadi faktor penentu dalam BLP adalah lokasi lahan dan luas penguasaan lahan – walaupun tetap di bawah batas dua hektare untuk komoditas tanaman pangan dan perkebunan dan 0,5 hektare untuk komoditas hortikultura. Pilihan skenario mungkin akan menimbulkan kecemburuan di antara petani penerima bantuan, karena jumlah BLP yang diterima setiap petani tidak sama.

Terarkhir, apa pun kebijakan yang diputuskan, upaya untuk mengembangkan  satu harga pupuk nasional, baik di Tingkat kios, tingkat regional, maupun Tingkat nasional, pasti memiliki konsekuensi pada besaran BLP dan anggaran negara. Proses pengusulan anggaran dari Tingkat administrasi birokrasi perlu dipersiapkan sejak awal, karena hal tersebut melibatkan beberapa kementerian/lembaga teknis, seperti Kementeria Pertanian, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, PT PIHC, BRI, dan Bank Syariah Indonesia (BSI).

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Ekonom Senior Indef, Ketua Umm PERHEPI

Diplomasi Negatif Beras India

Bustanul Arifin

Bisnis Indonesia, 7 September 2023

Keputusan India melarang ekspor beras sejak Juli 2023 telah membuat kepanikan baru di pasar beras global.  Apalagi diplomasi negatif itu dilakukan pada masa kekeringan ekstrem El-Nino yang melanda sebagian besar negara produsen beras Asia. Harga beras global merangkak naik menjadi US$ 547/ton pada Juli 2023, lalu naik lagi menjadi US$ 635/ton pada Agustus 2023 untuk beras kualitas Thai 5 persen broken. Harga beras medium (Thai 25 persen broken) di pasar global US$ 524/ton pada Juli 2023, lalu naik lagi menjadi US$ 600 /ton pada Agustus 2023.

            Apakah diplomasi negatif India akan menghasilkan “kiamat beras” di pasar global, seperti sering menjadi tajuk berita media nasional dan media sosial? Tidak separah itu. Artikel ini menganalisis pasar beras global setelah pelarangan ekspor beras oleh India dan konsekuensinya bagi ekonomi perberasan Indonesia. Penutup artikel ini adalah strategi besar dan perubahan kebijakan yang perlu diambil Indonesia, baik oleh sektor swasta dan petani, maupun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Updates Ekonomi Beras Global

Laporan Prakiraan Pasokan dan Permintaan Produk Pertanian yang dirilis oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada Agustus 2023 sedikit melegakan dibandingkan dengan Laporan serupa versi Juli 2023. Secara umum pada tahun 2023/2024 ini terjadi peningkatan pasokan, penurunan konsumsi, penurunan ekspor, dan peningkatan stok dibandingkan bulan lalu. Pasokan beras naik 0,4 juta ton menjadi 694,7 juta ton, terutama karena stok awal yang lebih besar di India. Jika terjadi penurunan stok awal di Vietnam, hal itu tidak terlalu mengurangi total beras global yang sebenarnya masih meningkat.

Produksi beras global dunia diperkirakan naik sedikit atau 8,1 juta ton lebih besar dibandingkan tahun 2022/23. Ekspor global turun 3,4 juta ton menjadi 53,0 juta ton karena larangan ekspor India tersebut. Ekspor India turun 4,0 juta ton menjadi 19,0 juta, tapi ekspor beras dari Pakistan, Brasil, dan Vietnam justeru naik. Total konsumsi beras global turun 1,0 juta ton menjadi 523,0 juta ton, karena impor beras Asia dan Afrika Sub-Sahara turun. Proyeksi stok akhir dunia pada tahun 2023/24 meningkat 1,3 juta ton menjadi 171,8 juta.

            Namun demikian, diplomasi negatif larangan ekspor beras India telah membuat banyak negara net-consumers beras, terutama di Asia, mulai kalang kabut dalam dua bulan terakhir. India sedang bersiap melaksanakan Pemilihan Umum pada 2024, dan bermaksud menahan lonjakan harga beras di dalam negerinya karena fenomena kekeringan ekstrem El-Nino dan IOD (Indian Ocean Dipole) postif. Sejak kebijakan larangan ekspor itu, harga beras domestik India terlihat lebih stabil pada 39 Rupee/kg (setara Rp 7.500/kg) yang mungkin dapat menambah citra positif Pemerintahan Narendra Modi dalam menghadapi Pemilu.

India terlihat menikmati posisi superior dalam diplomasi perdagangan beras global ini, terutama setelah banyak negara kosumen beras melakukan perundingan langsung dan minta pengecualian dari larangan ekspor itu. Saat ini, 40 negara menggantungkan impor beras dari India. Bahkan beberapa negara di Afrika dan Asia Selatan sekitar 80 persen impor berasnya bergantung pada India. Pada akhir Agustus 2023, melalui perundingan yang alot. India akhirnya mengizinkan ekspor beras putih non-basmati ke Singapura sebesar 50.000 ton, ke Bhutan 79.000 ton dan ke Mauritius 14.000 ton, dengan alasan membantu ketahanan pangan.  Menteri Perdagangan Guyana Afrika datang khusus ke India untuk memperoleh pengecualian dari larangan ekspor beras itu, walau belum dikabulkan. Para analis ekonomi beras global khawatir jika diplomasi negatif India ini diikuti negara produsen beras lain seperti Thailand dan Vietnam. Lonjakan harga beras tinggi pasti memukul konsumen miskin atau yang memiliki porsi pengeluaran terhadap pangan pokok sangat tinggi. Bahkan, di Indonesia, kenaikan harga beras tersebut dapat meningkatkan angka kemiskinan yang signifikan dan bahkan berkontribusi pada lonjakan laju inflasi nasional.

Lonjakan Harga Beras di Pasar Indonesia

Lonjakan harga beras di pasaar Indonesia telah berlangsung sejak akhir Juni 2023, karena harga beras merangkak naik menjadi 13.650/kg dan terus naik tinggi hinga Rp 13.850/kg pada awal September 2023.  Kenaikan beras sebesar Rp 2.000/kg dalam setahun terakhir tentu bukan persoalan biasa, karena pasti berhubungan dengan desain kebijakan dan manajemen stok beras, yang berada di bawah kendali Badan Pangan Nasional (NFA) dan dilaksanakan oleh dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, yaitu Perum Bulog dan ID-Food alias PT RNI Holding. Kenaikan harga beras dalam tiga tahun terkahir juga berhubungan dengan penurunan produksi dalam negeri, karena musim kering ekstrem El-Nino yang telah melanda hampir semua sentra produksi padi di Indonesia.

Laporan resmi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa pada bulan September 2023 ini, curah hujan sangat rendah, bahwa di bawah 20 mm di sebagian besar sentra produksi padi di Indonesia di Jawa, Sumatera Bagia Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dll. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) menunjukan bahwa neraca beras mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus, bahkan diperkirakan berlanjut hinggta September dan Oktober 2023, bahkan mencapai total 720 ribu ton. Strategi manajemen stok beras dan kemampuan pengelolaan psikologi pasar akan mampu menahan lonjakan harga beras di dalam negeri. Bantuan sosial beras 10 kilogram kepada 21,4 juta keluarga penerima manfaat (KPM) hingga Oktober 2023 diharapkan mampu mengurangi beban ekonomi masyarakat.

Sebagai penutup, beberapa rekomendasi kebijakan berikut ini perlu segera diambil untuk meredam lonjakan harga beras dan mengendalikan pasokan.  Pertama, Perum Bulog harus menyelesaikan sisa kekurangan 800 ribu ton dari kuota impor beras 2 juta ton yang ditugaskan hingga akhir 2023.  Finalisasi negosiasi dengan negara prodosen beras lain selain India dapat terus dilakukan, misalnya dengan Thailand, Vietnam, Kamboja, Pakistan dll. Bulog perlu antisipasi lonjakan harga impor, karena pasar global sedang bergejolak. Kepiawaian negosiasi bisnis dan pengusaan lapang akan sangat menentukan keberhasilan ini.

Kedua, Bulog perlu lebih taktis dalam manajemen stok dan pengadaan dalam negeri, karena harga gabah di tingkat petani sudah naik tinggi bahkan mencapai Rp 6.000/kg, jauh di atas Rp 5.000/kg sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Para pejabat Bulog pasti sudah amat paham bahwa mereka saat ini sedang bersaing dengan industri beras swasta besar yang bahkan semakin berani membeli harga beras petani dengan harga yang cukup tinggi. Di satu sisi, tingginya harga gabah ini sedikit mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Tapi, di sisi lain, kenaikan harga gabah juga memukul industri penggilingan padi kecil dan menengah yang senantiasa “kalah bersaing” dalam memperoleh pasokan gabah petani.

Ketiga, Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah perlu saling bahu-membahu melakukan percepatan tanam pada lahan rawa, lebak, dan yang mengandalkan irigasi teknis dan perpompaan, untuk meningkatkan kapasitas produksi padi di dalam negeri. Penggunaan benih padi unggul tahan kekeringan  perlu terus disebarkan di seluruh wilayah.

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Ekonom INDEF, President of ASAE

Korporatisasi Petani dan Nelayan di Simpang Jalan

Bustanul Arifin

Media Indonesia, 8 Agustus 2023

Paradigma pembangunan kawasan pertanian terintegrasi, atau yang dikenal dengan korporatisasi petani dan nelayan, sedang berada di simpang jalan. Pemerintah merencanakan program penguatan jaminan usaha pada 350 korporatisasi petani dan nelayan dengan anggaran Rp226,4 triliun. Anggaran tersebut berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp200,9 triliun dan dari investasi sektor swasta Rp25,5 triliun.

Indikator keberhasilan yang dituliskan dalam RPJM itu terlalu ambisius. Misalnya, terjadi peningkatan pendapatan petani 5% dan pendapatan nelayan 10% per tahun dan peningkatan produktivitas 5% per tahun hingga 2024. Target-target tersebut tentu tidak mudah untuk dicapai mengingat dampak pandemi covid-19 yang sangat dahsyat sehingga belum mampu kembali pada kondisi sebelum pandemi.

Artikel ini menganalisis kondisi korporatisasi petani dan nelayan, prinsip kemitraan dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dan menyampaikan rekomendasi kebijakan ke depan.  

Problem struktural korporatisasi

Beberapa problem struktural dari korporatisasi petani dan nelayan dapat diikhtisarakan sebagai berikut. Pertama, korporatisasi petani dan nelayan itu secara konsep sebenarnya cukup abstrak sehingga sulit dipahami oleh jajaran birokrasi yang mencoba menerjemahkan amanat dalam RPJM menjadi kegiatan aksi, atau program pengembangan di lapangan.

Kedua, landasan teori ekonomi, pembangunan pertanian atau ekonomi pembangunan tentang korporasi tidak cukup solid, atau sedikit terbukti secara empiris di tingkat lapangan. Hal itu menyulitkan para praktisi pembangunan untuk mewujudkan atau mengadaptasinya pada kondisi masyarakat Indonesia yang amat beragam.

Ketiga, prasyarat adaptasi dan implementasi korporatisasi petani dan nelayan menghadapi suatu perubahan kelembagaan, atau transformasi sistem sosial-ekonomi-politik dan kemasyarakatan yang rumit. Akibat dari problem struktural tersebut, penerapan konsep korporatisasi petani dan nelayan di lapangan masih memerlukan perubahan aransemen kelembagaan yang signifikan.

Bentuk korporatisasi petani dapat berupa koperasi, BUMP (badan usaha milik petani), usaha dagang (UD), atau lainnya. Korporatisasi dapat mengarah pada diversifikasi produksi, diversifikasi ekonomi, peningkatan nilai tambah, bahkan perluasan pasar komoditas. Beberapa inisiatif korporatisasi petani telah dilakukan, walau hasil akhirnya (outcome) tidak terlalu menonjol. Misalnya, kawasan pertanian berbasis korporatisasi di Lebak untuk komoditas jagung, Subang (sapi potong), Malang (bawang merah), Kolaka Timur (kakao), Tanggamus (pisang), Karanganyar (padi), Mojokerto (itik), Tasikmalaya (kedelai), Halmahera Utara (kelapa), Tana Toraja (kopi), Bangka Selatan (lada), Minahasa Utara (pala), dan lain-lain.  

Prinsip kemitraan dalam UUCK

Beberapa prinsip penting kemitraan bidang pertanian dalam Undang-Undang No 6/2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Pemerintah pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan. Perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan dilarang memindahkan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum.

Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari 1) area penggunaan lain (APL) yang berada di luar hak guna usaha, dan/atau 2) area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari luas lahan tersebut.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan lain atau bentuk pendanaan lain yang sesuai peraturan perundang-undangan (Klaster UU Perkebunan – Pasal 58). Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola kemitraan, melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan besar, misalnya dalam pola 1) inti-plasma, 2) subkontrak, 3) waralaba, 4) perdagangan umum, 5) distribusi dan keagenan, dan 6) kemitraan lainnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (Klaster UU Hortikultura – Pasal 56).

Implementasinya di lapangan ternyata sangat dinamis. Dari total luas area kelapa sawit 15,4 juta hektare terdapat 6,4 juta hektare (41%) kelapa sawit rakyat, 4,4 juta hektare (55%) swasta besar, dan 0,64 juta hektare (4%) perkebunan negara. Kemitraan yang terbangun juga bermacam-macam, dari perkebunan inti rakyat (PIR), kemitraan semiswadaya yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga skema kemitraan insidental dengan petani sawit swadaya berupa penjualan tandan buah segar (TBS). Sementara itu, dari total luas area 1,26 juta hektare perkebunan teh, 1,24 juta hektare (98%) ialah perkebunan rakyat dan hanya 14 ribu hektare kebun negara dan 9,5 ribu kebun swasta.

Skema kemitraan dalam perkebunan sawit dan kopi sangat dibutuhkan untuk mendobrak pasar internasional. Kemitraan sawit menjadi prasyarat bagi implementasi peremajaan sawit rakyat (PSR). Sawit berkelanjutan lebih bersifat inklusif dan komprehensif menuju tingkat kebersaingan lebih bertanggung jawab.

Indonesia mengadopsi sertifikasi berkelanjutan tingkat global melalui Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), serta Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk tingkat nasional. Indonesia juga telah menerapkan beberapa model sertifikasi dan standar berkelanjutan dalam industri kopi yang melibatkan pihak ketiga seperti Fairtrade, Rainforest Alliance, USDA Organic, Utz, dan 4C.

Kemitraan bidang perikanan sedikit berbeda karena sektor ini memiliki misi khusus untuk meningkatkan konsumsi ikan nasional hingga 61,02 kg per kapita. Angka konsumsi ikan (AKI) pada periode 2015-2022 telah mencatat pertumbuhan 5,13% per tahun untuk berkontribusi pada percepatan penurunan stunting.

Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2023 tentang Pembagian Zona Penangkapan Ikan Terukur, yang secara umum terbagi ke dalam 6 zona dengan fokus berbeda pada setiap zona, dan 1 zona peningkatan ikan terbatas. Kemitraan perikanan budi daya antara tambak tradisional dan pelaku usaha besar dan sektor ekonomi lain untuk mampu menghasilkan produksi lebih tinggi dan daya saing di pasar global.  

Rekomendasi kebijakan

Berikut ini adalah rekomendasi kebijakan ke depan. Pertama, desain pemberian insentif program perlu memperhatikan kondisi lokal dan ‘langkah pragmatisme’ bisnis dan politik di tingkat lapangan. Pelibatan kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) dibangun berdasarkan rasa saling percaya (trust level) dan aktivitas usaha yang saling membutuhkan.

Kedua, penyelesaian payung hukum korporatisasi petani dan nelayan melalui suatu peraturan presiden (perpres) sebagai panduan bagi kementerian/lembaga (K/L) untuk mempercepat korporatisasi petani atau kemitraan yang lebih efisien dan dinamis.

Ketiga, pendampingan petani sejak proses awal pembentukan kelembagaan korporatisasi petani dan nelayan. Pendampingan ini juga perlu melibatkan perguruan tinggi dan lembaga akademik lain yang mampu meningkatkan jejaring dengan perbankan dan lembaga keuangan lain, khususnya dalam peningkatan jangkauan pembiayaan di sektor pertanian dan perikanan.

Keempat, pelibatan sektor usaha swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) dalam skema pembiayaan, yang sekaligus menjadi bapak angkat pengasuh dari korporatisasi petani dan nelayan.

Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketum Perhepi

The Impact of El Nino on the 2023 Rice Balance

Bustanul Arifin

Kompas English, 8 August 2023

Phenomena an extreme El Nino drought in 2023 has occurred, according to the predictions of agroclimatology experts. The current El Nino is expected to continue until the end of its cycle, namely mid-2024. The climate phenomenon known as the Indian Ocean Dipole (IOD) is currently occurring normally in the Indian Ocean, causing drought to affect most of Indonesia’s food production centers.

The positive expectation is that even if the IOD phenomenon heads towards negative until August 2023 – which means the sea surface temperature of Indonesian waters will warm up and form clouds – some areas in Indonesia will still experience rainfall.  The Meteorology, Climatology, and Geophysics Agency (BMKG) has released a report stating that below-normal rainfall of 20-50 millimeters (mm) is expected in some rice production centers in South Sumatra, Lampung, Java, Bali, West Nusa Tenggara, and Sulawesi until July 2023.

Even in August-September 2023, rainfall in the main center of rice production will be below 20 mm. There is a forecast for a very long dry spell, with more than 15 consecutive dry days.  A similar forecast has been delivered by the Center for Climate Resilience and Management Studies of Southeast Asia and the Pacific at the Bogor Agricultural Institute (CCROM-IPB), stating that the main rice-producing center of Indonesia is experiencing drought. The International Research Institute for Climate and Society (IRI) at Columbia University in the United States also released a forecast of drought in Indonesia from mid-2023 until February 2024.

There is a slight difference that is somewhat relieving. CCROM-IPB predicts that rainfall in southern Sumatra, South Sulawesi, and West Java will be quite low, but still above 50 mm due to the IOD factor that is leading towards negative as explained before.

This article analyzes the impact of El Nino on the 2023 rice balance and other accompanying trends. Also recommendations on production strategies and policies, rice value chain, and climate change adaptation.

Impact on rice balance

Based on production and harvest area estimates using the Sampling Area Framework (KSA) method carried out by the Central Statistics Agency, the national rice balance has started to enter a deficit again since July, August, and September 2023.  The deficit of rice during the three months is estimated at 420,000 tons after five consecutive months of surplus, amounting to 4.35 million tons. The surplus during the dry season occurred due to high harvest performance in March and April, resulting in a production of 8.89 million tons of paddy in March and 6.24 million tons of dry-husked rice in April.

Meaning, the impact of El Nino has not yet shown significant effects on the 2023 harvest season. Moreover, retail rice prices in March-April 2023 were quite stable at around Rp 13,400 per kilogram. Since the end of June 2023, rice prices have gradually increased to Rp 13,650 per kilogram and remained at Rp 13,550 per kilogram at the beginning of August 2023. Meanwhile, the plan to import rice by Perum Bulog for 2 million tons until early August 2023 has only realized 1.15 million tons. Bulog has started to have difficulties in finding rice after India banned rice exports to secure its domestic rice stocks.

India’s extreme decision to ban exports has rattled international rice prices. The global average price of rice has increased dramatically from US$514 per tonne in June 2023 to US$547 per tonne in July 2023 for Thaii quality 5 percent broken.

In fact, the selling price of rice in Thailand and Vietnam rose by around US$50 per ton. A very significant increase during the El Nino dry season as it is today.  The report from the United States Department of Agriculture (USDA) in July 2023 shows that global rice production is estimated to decrease from 513.7 million tons in 2022 to 512.5 million tons in 2023 due to the El Nino phenomenon.

During the same period, India’s rice production increased from 129.5 million tons to 136 million tons, Thailand’s from 19.9 million tons to 20.2 million tons, and Vietnam’s from 26.7 million tons to 27 million tons. Meanwhile, China’s production decreased from 149 million tons to 146 million tons, Myanmar’s from 12.4 million tons to 11.8 million tons, Pakistan’s from 9.3 million tons to 5.5 million tons, and others. The USDA also predicts that Indonesia’s rice production will decline by 1.16 percent, slightly lower than BPS’s forecast of a 2.13 percent decline.

In the context of rice balance management, the remaining quota of almost 900,000 tons of rice imports still needs to be fulfilled by Bulog before the end of 2023, in addition to the task of procuring rice and paddy from domestic farmers. The total procurement of rice by Bulog from the domestic market until early August 2023 recorded 771,000 tons. A total of 672,000 tons of rice have been distributed for the food supply and price stabilization program (SPHP), including 640,000 tons for food assistance, 42,000 tons for budget group distribution, 2,000 tons for emergency response, and others. Total rice stocks as of 4 August 2023 were recorded at 854,000 tons, consisting of 795,000 tons of government rice reserves (CBP) and 59,000 tons of commercial stocks. This position will continue to be monitored by rice traders, including speculators trying to take economic rents.

In critical conditions like now, Perum Bulog needs to be more tactical in managing stocks and domestic procurement. The lag in procuring rice domestically during the previous harvest season – at least compared to other large private sectors – should not be compensated by forcibly procuring during the current dry season and El Nino phenomenon.  If that is done, the price of rice is feared to increase even more wild and could have a very significant socio-economic impact, especially in an election year.

Production strategy and value chain

The El Nino phenomenon has occurred, so there is no need to deny or search for excuses to refute it.  The mitigation strategy to accelerate planting, utilize swampy land, and establish boreholes and pumps in several mandatory production centers must continue to be carried out and closely monitored.  Therefore, production support for farmers, from the availability of seeds to subsidized fertilizers in 2023 should not decrease. Moreover, next year, the government plans to change fertilizer subsidies into direct fertilizer assistance to farmers (BLP), which requires special socialization and assistance. Several academic studies and general equilibrium models have predicted that climate change will decrease food production by 8-10 percent in 2030 if no policy responses or adaptation strategies are implemented.  

Starting now and in the next few years, the government must be at the forefront of guiding farmers in developing rice and other food seeds that are drought tolerant or more adaptive to extreme El Nino climate change and excessively wet La Nina monsoons. In the context of food distribution, improved digitalization of the value chain should be able to overcome the problem of the slow flow of information and transaction support to move together to face El Nino or extreme climate change which are increasingly occurring.  

At the micro level, the government, together with the private sector and the community, needs to take special steps, such as preparing and providing emergency food and clean water supplies if extreme drought hits households, especially food farmers. In certain conditions, certain criteria need to be established, especially to provide discretion for local governments to take strategic and tactical actions without having to wait for national disaster command or other statuses.

Bustanul Arifin, Professor of the University of Lampung, Senior Economist at Indef, and Chairman of Perhepi

Dampak El-Nino pada Neraca Beras 2023

Bustanul Arifin

Kompas, 8 Agustus 2023

Fenomena kekeringan ekstrem El Nino pada 2023 sudah terjadi, sesuai dengan prediksi pakar agroklimatologi. El Nino yang terjadi saat ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir siklusnya, yaitu hingga pertengahan 2024. Fenomena iklim yang terjadi di Samudra India yang disebut Indian Ocean Dipole (IOD) juga sedang berlangsung normal sehingga kekeringan mulai melanda sebagian besar sentra produksi pangan Indonesia.

Ekspektasi baiknya, jika fenomena IOD menuju negatif hingga Agustus 2023—yang berarti suhu permukaan laut perairan Indonesia menghangat dan membentuk awan—beberapa daerah di Indonesia masih turun hujan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah merilis laporan curah hujan di bawah normal berkisar 20-50 milimeter (mm) di sebagian sentra produksi padi di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi hingga Juli 2023.  Bahkan, pada Agustus-September 2023, curah hujan di sentra utama produksi padi tersebut berada di bawah 20 mm. Prakiraan terjadinya kondisi deret kering yang panjang sangat besar, atau terjadi lebih dari 15 hari kering berturut-turut.

Prakiraan serupa telah disampaikan Pusat Studi Manajemen dan Resiliensi Iklim Asia Tenggara dan Pasifik Institut Pertanian Bogor (CCROM-IPB), yakni sentra produksi padi utama Indonesia tersebut mengalami kekeringan. International Research Institute for Climate and Society (IRI) di Columbia University, AS, juga merilis prakiraan kekeringan di Indonesia sejak pertengahan 2023 hingga Februari 2024. Terdapat sedikit perbedaan yang agak melegakan. CCROM-IPB memprakirakan curah hujan di Sumatera bagian Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat cukup rendah, tetapi masih di atas 50 mm karena faktor IOD yang mengarah ke negatif seperti dijelaskan sebelumnya.

Artikel ini menganalisis dampak El Nino pada neraca beras 2023 dan kecenderungan lain yang menyertainya. Juga rekomendasi strategi dan kebijakan produksi, rantai nilai beras, dan adaptasi perubahan iklim.

Dampak pada neraca beras

Berdasarkan estimasi produksi dan luas panen dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik, neraca beras nasional mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus, dan September 2023. Jumlah defisit beras selama tiga bulan itu diestimasi sebesar 420.000 ton setelah lima bulan berturut-turut neraca beras surplus 4,35 juta ton. Surplus pada musim rendeng terjadi karena kinerja luas panen pada Maret dan April sangat tinggi sehingga produksi gabah pada Maret 8,89 juta ton dan April 6,24 juta ton gabah kering giling (GKG).

Maknanya, dampak El Nino belum tergambar signifikan pada musim panen 2023 tersebut. Apalagi harga eceran beras pada Maret-April 2023 cukup stabil pada level sekitar Rp 13.400 per kilogram. Sejak akhir Juni 2023, harga beras merangkak naik ke Rp 13.650 per kilogram dan bertahan Rp 13.550 per kilogram pada awal Agustus 2023.

Sementara itu, rencana impor beras oleh Perum Bulog sebanyak 2 juta ton hingga awal Agustus 2023 baru terealisasi 1,15 juta ton. Bulog mulai kesulitan mencari beras setelah India melarang ekspor beras untuk mengamankan stok beras domestiknya. Keputusan ekstrem India melarang ekspor itu telah mengacaukan harga beras internasional. Harga rata-rata beras global telah naik drastis dari 514 dollar AS per ton pada Juni 2023 menjadi 547 dollar AS per ton pada Juli 2023 untuk kualitas Thai 5 persen broken. Bahkan, harga jual beras di Thailand dan Vietnam naik sekitar 50 dollar AS per ton. Suatu kenaikan yang amat signifikan pada musim kering El Nino seperti sekarang ini.

Laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) bulan Juli 2023 menunjukkan bahwa produksi beras dunia diperkirakan turun dari 513,7 juta ton tahun 2022 ke 512,5 juta ton tahun 2023 karena fenomena El Nino. Pada periode yang sama produksi beras India naik dari 129,5 juta ton menjadi 136 juta ton, Thailand dari 19,9 juta ton menjadi 20,2 juta ton, Vietnam dari 26,7 juta ton menjadi 27 juta ton. Sementara produksi China turun dari 149 juta ton menjadi 146 juta ton, Myanmar turun dari 12,4 juta ton menjadi 11,8 juta ton, Pakistan turun dari 9,3 juta ton menjadi 5,5 juta ton, dan lain-lain. USDA juga memprakirakan produksi beras Indonesia turun 1,16 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan penurunan sebesar 2,13 persen oleh BPS.

Dalam konteks manajemen neraca beras, sisa kuota impor beras hampir 900.000 ton itu masih harus dipenuhi Bulog sebelum akhir 2023, selain tugas pengadaan gabah dan beras dari petani domestik. Total pengadaan beras Bulog dari pasar dalam negeri hingga awal Agustus 2023 tercatat 771.000 ton. Sejumlah 672.000 ton beras telah disalurkan untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP), termasuk untuk bantuan pangan sebanyak 640.000 ton, penyaluran golongan anggaran 42.000 ton, tanggap darurat sebanyak 2.000 ton, dan lain-lain. Total stok beras per 4 Agustus 2023 tercatat 854.000 ton, terdiri dari cadangan beras pemerintah (CBP) 795.000 ton dan 59.000 ton stok komersial. Posisi ini akan terus dipantau para pedagang beras, termasuk para spekulan yang berusaha mengambil rente ekonomi.

Pada kondisi kritis sekarang, Perum Bulog perlu lebih taktis dalam manajemen stok dan pengadaan dalam negeri. Ketertinggalan melakukan pengadaan beras dalam negeri pada musim panen raya yang lalu—setidaknya dibandingkan dengan sektor swasta besar lain—tidak harus dikompensasi dengan memaksakan pengadaan pada musim kering dan fenomena El Nino seperti sekarang. Jika hal tersebut dilakukan, harga beras dikhawatirkan naik lebih liar lagi sehingga dapat membawa dampak sosial-ekonomi yang sangat signifikan, apalagi di tahun politik.

Strategi produksi dan rantai nilai

Fenomena El Nino sudah terjadi sehingga tidak perlu disangkal atau dicarikan alasan untuk membantahnya. Strategi mitigasi untuk mempercepat tanam, memanfaatkan lahan rawa, dan mengusahakan sumur bor dan pemompaan di beberapa sentra produksi wajib terus dilakukan dan dipantau secara ketat. Oleh karena itu, dukungan produksi kepada petani, mulai dari ketersediaan benih hingga pupuk subsidi pada tahun 2023 tidak boleh kendur. Apalagi, tahun depan, pemerintah berencana mengubah subsidi pupuk menjadi bantuan pupuk langsung kepada petani (BLP), yang memerlukan sosialisasi dan pendampingan secara khusus.

Beberapa studi akademik dan model keseimbangan umum telah meramalkan bahwa perubahan iklim akan menurunkan produksi pangan 8-10 persen pada 2030 jika tak ada respons kebijakan atau strategi adaptasi yang dilakukan. Mulai sekarang hingga beberapa tahun ke depan, pemerintah wajib berada di garda terdepan untuk membimbing petani dalam mengembangkan benih padi dan pangan lain yang tahan kekeringan atau lebih adaptif terhadap perubahan iklim ekstrem El Nino dan musim hujan La Nina basah yang berlebihan. Dalam konteks distribusi pangan, perbaikan digitalisasi rantai nilai seharusnya mampu menanggulangi persoalan lambannya aliran informasi dan dukungan transaksi untuk bergerak bersama menghadapi El Nino atau perubahan iklim ekstrem yang kian kerap terjadi.

Di tingkat mikro, pemerintah bersama sektor swasta dan masyarakat perlu melakukan langkah khusus, misalnya penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih jika kekeringan ekstrem melanda rumah tangga, khususnya para petani pangan. Pada kondisi tertentu, beberapa kriteria perlu ditetapkan, terutama untuk memberikan diskresi bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah strategis dan taktis tanpa harus menunggu komando atau status bencana nasional dan lain-lain.

Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketum Perhepi

Sertifikasi Halal UMK Pangan

Bustanul Arifin

Republika, 1 Maret 2023

Kinerja sertifikasi halal menunjukkan perkembangan positif walaupun masih berjalan lambat. Selama lima tahun terakhir, tepatnya sejak berdirinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Oktober 2017, sekitar 750 ribu produk telah tersertifikasi halal. Secara rata-rata, terdapat 250 ribu produk setiap tahun, utamanya produk pangan, telah tersertifikasi halal. Ini suatu lompatan signifikan dibandingkan 100 ribu produk per tahun sebelum 2017.

Data BPJPH Kementerian Agama menunjukkan, sejak awal 2023 sekitar 2.200 sertifikasi halal telah diterbitkan, yang meliputi 38.500 produk, utamanya produk pangan termasuk dari usaha mikro dan kecil (UMK). Dunia usaha dan masyarakat luas masih harap-harap cemas apakah target 10 juta sertifikasi halal pada 2024 dapat dicapai atau tidak. Jumlah UMK di Indonesia sangat banyak, sekitar 40 juta unit yang tersebar hingga pelosok daerah.

Tiga masalah utama yang dihadapi UMK bidang pangan dalam implementasi sertifikasi halal, khususnya deklarasi sendiri, dapat diikhtisarkan sebagai berikut. Pertama, jumlah dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) sebagai penyelia halal terbatas. Kedua, pengetahuan dan keterampilan dalam membuat manual halal sederhana tidak memadai. Ketiga, daftar bahan halal dan dokumen pendukung tidak mampu disediakan sehingga usulannya sering ditolak Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Artikel ini menganalisis kinerja kebijakan sertifikasi halal berikut permasalahan di tingkat organisasi dan administrasi serta implementasinya di lapangan. Penutup artikel ini adalah rekomendasi percepatan sertifikasi halal ke depan.

Reforma kebijakan sertifikasi halal

Reforma regulasi jaminan produk halal dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang merupakan turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penetapan kehalalan produk dilakukan dalam sidang fatwa halal oleh MUI. Keputusan kehalalan produk disampaikan MUI kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Pasal 33). Pemerintah juga memperluas Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang kini bisa dilakukan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum, perguruan tinggi negeri, dan perguruan tinggi swasta di bawah lembaga keagaam Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum (Pasal 13).

Untuk keperluan tersebut, lembaga keagamaan Islam dapat menyiapkan auditor halal (Pasal 14). Sertifikasi halal untuk UMK tidak dikenakan biaya (Pasal 44). Kewajiban bersertifikasi halal didasarkan pada pernyataan atau deklarasi pelaku UMK sendiri berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH (Pasal 14). Proses memperoleh sertifikasi halal bagi UMK maksimal 21 hari (Pasal 29-35). Di tingkat hulu, ketersediaan bahan halal memang sangat terbatas, khususnya informasi daging halal. Jumlah rumah potong hewan (RPH) dan rumah potong umum (RPU) yang telah bersertifikat halal kurang dari 15 persen dari 1.329 RPH/RPU di seluruh Indonesia. Persentase tersebut tentu lebih rendah dibandingkan jumlah RPH/RPU untuk pasar tradisional, walau tidak tersedia data secara pasti.

Sebenarnya, BPJPH telah memberikan banyak pelatihan kepada pendamping proses produk halal (PPH) walaupun cukup sedikit dari pendamping PPH ini, yang bersedia melaksanakan pekerjaannya di lapangan. Insentif atau honor untuk pendamping PPH dan lembaga PPH sangat kecil dibandingkan volume pekerjaan dan tanggung jawab moral yang diembannya.

Mekanisme sertifikasi halal

Mekanisme dan proses sertifikasi halal deklarasi sendiri dapat diikhtisarkan, pertama, pelaku UMK mengajukan permohonan sertifikasi halal melalui BPJPH yang terintegrasi dengan online single submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kedua, pendamping PPH melakukan input dokumen hasil verifikasi/validasi di lapangan. Ketiga, lembaga pendamping memeriksa ulang dokumen hasil verifikasi/validasi pendamping. Keempat, BPJPH memverifikasi data pelaku UMK menggunakan machine learning pada sistem SIHALAL, apakah telah sesuai kriteria self-declare atau tidak. Kelima, setelah proses validasi otomatis menggunakan artificial intelligence, BPJPH menyetujui dokumen hasil verifikasi/validasi menggunakan Sistem Pengambilan Keputusan. Lalu keenam, MUI menjadwalkan tanggal sidang fatwa dan menerbitkan ketetapan halal. Sedangkan ketujuh, BPJPH menerbitkan sertifikat halal secara digital, kadang terintegrasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Implementasi dari mekanisme dan proses sertifikasi halal di lapangan terkadang banyak menghadapi kendala. Bahkan, verifikasi pada sistem SIHALAL masih dilakukan secara manual petugas BPJPH. Tahapan prosedur 1 sampai 5 di atas memerlukan waktu lebih dua hari. Demikian pula, proses penerbitan ketetapan halal memerlukan waktu lebih dari tiga hari, karena proses sidang fatwa MUI dilakukan setelah beberapa pengajuan permohonan dari UMK memenuhi syarat minimal tertentu.

Terkadang prosedur 6 di atas perlu waktu dua pekan untuk memperoleh jadwal sidang. Selama ini, jadwal sidang fatwa terpusat di MUI Pusat. Sekali lagi, proses sertifikasi halal bagi UMK tak dikenai biaya alias nol rupiah. Sumber pembiayaan utamanya berasal dari APBN (Pasal 81) dan bisa dari APBD, pembiayaan alternatif UMK, dana kemitraan, hibah pemerintah atau lembaga lain, dana bergulir, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Walaupun demikian, pelaku UMK sering tidak menindaklanjuti temuan kekurangan saat audit oleh LPH.

Rekomendasi percepatan

Pertama, perbaikan sektor hulu pertanian dan peternakan melalui peningkatan jumlah RPH/RPU bersertifikat halal sebagai rantai pertama pada rantai nilai halal, khususnya produk daging dan turunannya.

Kedua, percepatan ketersediaan dan peningkatan kapasitas penyelia halal dan/atau pendamping PPH pelaku UMK yang kompeten, sehingga kelemahan atau kekurangan dapat diantisipasi sebelum audit, melalui suatu audit internal yang benar.

Ketiga, pendaftaran halal secara paralel oleh UMK ke BPJPH dan LPH. UMK dapat memilih LPH di daerah, terutama untuk produk UMK yang dipasarkan di tingkat lokal/nasional. LPH ini melakukan audit tanpa harus menunggu Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) dari BPJPH.

Keempat, penambahan SDM di BPJPH yang kompeten untuk menangani pendaftaran sertifikasi halal, setidaknya untuk mempercepat proses verifikasi dan validasi data lapangan.

Kelima, desentralisasi fatwa halal kepada MUI daerah, utamanya untuk produk UMK yang memiliki cakupan pemasaran lokal di daerah atau tingkat provinsi. MUI pusat dapat lebih fokus pada produk UMK yang memiliki cakupan pemasaran nasional dan global.

Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom INDEF